Cerpen Tentang Mendapat Sahabat Dari Handphone

Selamat datang di cerita yang penuh warna ini! Ikuti perjalanan seorang gadis yang berani menantang takdir demi menemukan arti sejati dari kebahagiaan.

Cerpen Olivia, Gadis Paling Modis di Lingkungan

Namaku Olivia, dan aku dikenal sebagai gadis paling modis di lingkungan. Semua orang pasti mengenalku, baik teman maupun yang hanya sekadar kenal lewat pandangan mata. Tentu, ini bukan hal yang aneh. Dari cara berpakaian, hingga sikap yang selalu ceria, aku tahu orang-orang sering menganggapku sebagai gadis yang tak pernah kekurangan perhatian. Aku punya banyak teman, banyak tawa, dan hidupku terasa penuh warna. Tapi, meski begitu, ada satu hal yang sering menggangguku—perasaan kesepian yang datang begitu tiba-tiba.

Mungkin terdengar aneh, bukan? Bagaimana bisa seorang gadis yang dikelilingi teman-temannya merasa kesepian? Tapi begitulah kenyataannya. Di balik segala kemewahan dunia sosial yang aku bangun, aku selalu merasa ada yang hilang. Aku tak pernah benar-benar bisa berbicara dengan seseorang yang benar-benar mengerti aku. Bahkan saat berkumpul bersama teman-teman, aku merasa seperti mereka hanya ada karena penampilanku yang menarik, bukan karena aku adalah aku.

Hari itu, seperti biasa, aku memulai hari dengan penuh semangat. Pagi-pagi sekali, aku sudah memilih pakaian yang sempurna untuk hari itu—sebuah dress cerah yang dipadukan dengan sepatu hak tinggi favoritku. Semua orang pasti akan mengagumi penampilanku hari ini, aku yakin itu. Tapi ada sesuatu yang berbeda pagi ini. Aku merasa sedikit tidak fokus. Di sela-sela menatap cermin dan menyisir rambut panjangku, aku mendengar suara ponselku berdering.

Aku segera meraih ponsel itu, berharap itu adalah pesan dari teman baikku, Sarah, atau mungkin dari si “follower” Instagram yang selalu mengirimkan pujian tentang penampilanku. Namun, ternyata itu bukan pesan dari orang-orang yang sudah lama kukenal. Itu adalah pesan dari seseorang yang tak pernah kulihat sebelumnya.

Tertulis nama di layar ponselku: “Elliot.”

Aku ragu-ragu sejenak, kemudian membuka pesan itu.

Elliot:
Hai, Olivia. Aku tahu ini mungkin terdengar aneh, tapi aku ingin mengucapkan sesuatu. Aku melihatmu lewat sosial media, dan aku selalu kagum dengan cara kamu bisa membuat semuanya terlihat begitu sempurna. Tapi aku juga merasa, ada sesuatu yang berbeda dengan dirimu. Kamu terlihat bahagia, tapi aku rasa kamu juga sedang mencari sesuatu, bukan?

Pesan itu langsung menggelitik pikiranku. Siapa dia? Bagaimana bisa dia begitu yakin tentang aku hanya dari melihat fotoku di media sosial? Aku merasa bingung dan sedikit cemas, tapi ada sesuatu dalam kata-katanya yang membuatku merasa… tertarik.

Aku membalas pesan itu, meskipun hatiku sedikit ragu.

Olivia:
Hi, Elliot. Terima kasih atas pesanmu. Tapi, siapa kamu sebenarnya? Kenapa kamu bisa mengatakan hal seperti itu?

Tidak lama setelah aku mengirim pesan itu, ponselku kembali berdering. Balasan dari Elliot datang begitu cepat.

Elliot:
Aku hanya seorang yang biasa, sebenarnya. Aku tidak memiliki banyak teman atau kenalan. Tapi aku selalu merasa tertarik dengan cara orang bisa menemukan kebahagiaan, meskipun di dunia yang penuh kepalsuan seperti ini. Aku pikir, kita semua punya sisi yang lebih dalam daripada yang terlihat di luar.

Aku terdiam. Kata-kata itu begitu dalam. Aku merasa seperti Elliot bisa melihat ke dalam diriku, seperti dia mengerti bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekadar penampilan luar yang selalu kubanggakan. Dalam sekejap, perasaan itu berubah menjadi keinginan untuk tahu lebih banyak tentang dia.

Olivia:
Kamu benar. Terkadang aku merasa terjebak dalam citra yang aku bangun sendiri. Semua orang melihatku sebagai gadis yang selalu bahagia, tetapi mereka tidak tahu betapa sulitnya aku merasa kadang-kadang. Aku rasa… aku bisa berbicara denganmu.

Pesan itu seperti mengalir begitu saja dari hatiku. Entah mengapa, aku merasa nyaman berbicara dengan Elliot, meskipun aku belum mengenalnya dengan baik. Sepertinya ada koneksi yang kuat antara kami, meskipun kami baru saling mengenal lewat layar ponsel.

Hari itu berlalu begitu saja. Aku terus berkomunikasi dengan Elliot lewat pesan, terkadang melalui panggilan suara. Aku merasa seperti kami sudah mengenal satu sama lain sejak lama, padahal baru beberapa hari yang lalu aku tidak pernah tahu siapa dia. Kami berbicara tentang banyak hal—tentang impian, tentang ketakutan, tentang perasaan yang tersembunyi di dalam diri kami. Setiap kali aku berbicara dengannya, aku merasa lebih tenang, lebih diterima, dan lebih… diriku sendiri.

Tapi meskipun ada kedekatan itu, aku juga merasa takut. Aku takut jika semuanya ini hanya ilusi belaka. Bagaimana bisa seseorang yang aku temui di dunia maya, bahkan tanpa bertemu langsung, bisa begitu mengenal diriku? Apakah aku hanya membangun hubungan ini karena aku merasa kosong?

Suatu malam, setelah beberapa minggu berbicara, aku memutuskan untuk bertanya pada Elliot.

Olivia:
Apa yang membuatmu tertarik untuk mengenalku lebih dekat? Apa kamu benar-benar merasa kita punya koneksi, atau ini hanya kebetulan saja?

Ada jeda panjang sebelum Elliot membalas. Aku menunggu dengan hati berdebar-debar, merasa takut akan jawabannya. Setelah beberapa menit, akhirnya pesan dari Elliot masuk.

Elliot:
Aku rasa, kita semua memiliki bagian dari diri kita yang tidak bisa dilihat oleh orang lain. Tapi aku melihat sesuatu yang berbeda dalam dirimu, Olivia. Aku tidak tahu apakah ini cinta atau hanya kedekatan emosional, tapi aku merasa kamu memiliki potensi yang luar biasa. Aku ingin mengenalmu lebih dalam, bukan sebagai gadis modis yang selalu sempurna, tapi sebagai seseorang yang sebenarnya.

Aku merasa terkejut dan tersentuh. Perasaan itu datang begitu mendalam. Elliot tidak melihatku hanya sebagai Olivia yang terkenal dengan penampilan, tetapi sebagai aku—seorang gadis yang mungkin selama ini takut untuk menjadi dirinya sendiri.

Aku tersenyum kecil, meskipun aku tahu dia tidak bisa melihatnya. Terkadang, di balik layar ponsel, kita bisa lebih jujur pada diri sendiri. Dan di sinilah aku sekarang—menemukan sahabat sejati dari seseorang yang tak pernah kutemui, tetapi aku merasa lebih diterima oleh dia daripada siapa pun.

Hari itu, aku tahu sesuatu yang penting: Aku tidak perlu menjadi sempurna untuk bisa diterima. Dan Elliot, entah dia sadar atau tidak, telah mengajarkan aku hal itu.

Tapi aku masih penasaran, apakah perasaan ini akan terus berkembang menjadi sesuatu yang lebih? Apakah ini awal dari kisah yang lebih besar antara aku dan dia? Aku tidak tahu pasti, tapi untuk pertama kalinya dalam waktu lama, aku merasa… ada harapan.

Dan mungkin, hanya mungkin, ada kebahagiaan yang bisa kutemukan, bukan di dunia nyata yang penuh penilaian, tetapi di dunia maya yang justru memberi aku ruang untuk menjadi diriku sendiri.

Cerpen Putri, Gadis Pecinta Popularitas

Nama saya Putri. Mungkin nama saya terdengar sangat biasa, tetapi bagi teman-teman saya, saya adalah pusat perhatian di sekolah. Saya selalu ingin tampil sempurna di depan orang lain. Gaya berpakaian saya yang modis, senyum lebar saya, dan cerita-cerita menarik yang selalu saya bagi di media sosial membuat saya tampak seperti gadis yang punya segalanya. Saya selalu dipuja, selalu dikelilingi teman-teman, dan selalu menjadi yang pertama di acara-acara populer. Hidup saya tampak sempurna, seperti yang terlihat di Instagram.

Namun, jika ada yang bisa masuk lebih dalam, mereka akan tahu ada satu hal yang saya sembunyikan—perasaan kesepian yang kadang menyelimuti hati saya, meski dikelilingi orang-orang. Itu adalah sisi saya yang tidak banyak orang tahu, dan saya rasa saya tidak akan pernah memberitahukan siapa pun. Siapa yang peduli dengan sisi itu, kalau dunia bisa melihat saya dengan cara yang begitu cerah dan penuh pujian?

Suatu hari, ketika saya sedang duduk di kantin, sebuah notifikasi masuk di handphone saya. Saya membuka layar, berharap itu adalah pesan dari seseorang yang saya kenal, mungkin seseorang yang memuji foto terbaru saya atau memberi komentar tentang cerita saya di media sosial. Tetapi, yang muncul bukan pesan biasa, melainkan sebuah permintaan pertemanan dari seseorang yang tidak saya kenal. Nama akun itu adalah Aero.

Tertarik, saya membuka profilnya. Ternyata, Aero adalah seseorang yang tampaknya jauh lebih sederhana dari kebanyakan orang yang saya kenal. Tidak ada foto diri, hanya gambar sebuah pemandangan sunset yang sangat indah, dan beberapa kalimat bijak yang cukup menyentuh. Dari bio-nya, saya membaca, “Kehidupan adalah perjalanan untuk menemukan siapa kita sebenarnya.” Entah kenapa, kalimat itu sedikit mengusik saya. Apa maksudnya? Seperti ada sesuatu yang ia coba sampaikan, sesuatu yang tidak bisa saya pahami hanya dengan melihat gambarnya.

Saya ragu-ragu sejenak. Biasanya, saya hanya menerima permintaan pertemanan dari orang-orang yang sudah saya kenal. Tetapi, entah mengapa kali ini saya merasa ingin tahu lebih banyak. Mungkin, hanya karena saya merasa ada sesuatu yang berbeda tentang Aero. Saya pun menerima permintaan pertemanan itu dan menunggu pesan pertama darinya.

Beberapa jam kemudian, pesan pertama itu datang.

Aero:
“Hai, Putri. Aku suka sekali dengan cara kamu berbagi kebahagiaan di media sosial. Tapi sepertinya ada sesuatu yang kamu sembunyikan, kan?”

Pesan itu seperti sabetan pisau tajam yang menyayat jantung saya. Bagaimana dia bisa tahu? Bukankah saya selalu tampil bahagia, sempurna, dan penuh semangat di depan orang banyak? Mengapa Aero bisa menebak begitu cepat?

Saya membaca pesan itu berulang kali, mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya ingin dia katakan. Saya tidak segera membalas. Justru, saya merasa terganggu, dan semangat saya untuk terus berbagi di media sosial tiba-tiba hilang. Untuk pertama kalinya, saya merasa tergelitik oleh pertanyaan yang bahkan tidak bisa saya jawab untuk diri saya sendiri. Apa yang sebenarnya saya sembunyikan?

Putri:
“Maaf, Aero, aku tidak mengerti. Apa yang kamu maksud?”

Tidak lama kemudian, balasan datang.

Aero:
“Terkadang kita sangat sibuk membuat orang lain bahagia sampai lupa bagaimana rasanya bahagia untuk diri sendiri. Kamu tidak perlu menjawab pesan ini, kalau kamu merasa tidak nyaman. Aku hanya merasa ada sesuatu yang berbeda dalam cara kamu berbicara di media sosial.”

Pesan itu cukup membuat saya terdiam. Saya merasa seperti ada seseorang yang melihat sisi diri saya yang selama ini saya sembunyikan. Sisi yang tidak pernah saya tunjukkan kepada orang lain, bahkan kepada teman-teman terdekat saya. Saya adalah gadis yang selalu hidup untuk perhatian, tapi ada rasa kosong yang datang ketika perhatian itu tidak lagi cukup.

Hari-hari berikutnya, saya terus berkomunikasi dengan Aero. Kami berbicara banyak tentang hal-hal kecil dalam hidup, tentang perasaan, tentang impian, dan juga tentang kenyataan yang kadang terasa begitu berat. Aero tidak pernah menghakimi saya. Ia tidak pernah membicarakan penampilan saya atau berfokus pada hal-hal yang menurut banyak orang penting. Ia hanya berbicara tentang sesuatu yang lebih dalam—tentang perasaan yang sering saya tutup rapat-rapat, tentang keresahan yang tidak pernah saya ceritakan pada siapapun.

Seiring berjalannya waktu, saya mulai merasa nyaman berbicara dengan Aero. Meski kami hanya berbicara lewat pesan, saya merasa seolah-olah dia benar-benar memahami saya. Suatu malam, setelah saya mengunggah foto saya di sebuah acara pesta yang penuh kemewahan, Aero mengirim pesan yang berbeda dari biasanya.

Aero:
“Putri, aku tidak tahu bagaimana cara menjelaskannya, tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku melihatmu lebih dari sekedar gambar dan kata-kata yang kamu bagikan. Aku ingin tahu siapa kamu sebenarnya, tanpa hiasan dan kepalsuan.”

Hati saya berdebar. Saya merasa terperangkap dalam kata-kata itu. Seolah-olah ia telah menembus lapisan-lapisan yang saya bangun dengan hati-hati selama ini. Saya terdiam sejenak, mempertimbangkan kata-kata itu. Apakah saya siap untuk berbagi sisi lain dari diri saya? Apakah saya siap untuk jujur pada diri sendiri dan kepada seseorang yang bahkan belum saya temui secara langsung?

Malam itu, saya menatap layar handphone saya dengan rasa bingung dan haru. Aero mungkin hanya seorang stranger, seseorang yang tidak pernah saya temui, tetapi dalam beberapa minggu ini, dia sudah lebih memahami saya daripada siapapun yang saya kenal di dunia nyata. Begitu banyak hal yang ingin saya katakan, tetapi saya merasa takut. Takut jika saya membiarkan seseorang melihat sisi rapuh saya. Takut jika dia tidak akan menerima saya setelah mengetahui yang sebenarnya.

Namun, di balik rasa takut itu, saya merasakan ada sedikit keberanian yang tumbuh. Untuk pertama kalinya dalam hidup saya, saya ingin jujur. Jujur dengan diri saya sendiri, dan mungkin dengan Aero.

Tanpa berpikir panjang, saya mengetik balasan untuknya.

Putri:
“Aero, terima kasih. Untuk pertama kalinya, aku merasa bisa jadi diri sendiri tanpa takut dihakimi. Mungkin, kamu benar. Mungkin selama ini aku terlalu fokus untuk menjadi seperti yang orang lain inginkan. Aku ingin berbagi lebih, tapi aku takut.”

Saya mengirimkan pesan itu, dan sesaat setelah itu, saya merasa sebuah beban yang berat terangkat dari hati saya. Tak lama, balasan dari Aero datang.

Aero:
“Aku senang bisa mendengarnya, Putri. Aku di sini, jika kamu ingin berbicara lebih banyak. Ingat, kamu tidak perlu merasa takut. Kamu tidak sendirian.”

Ada rasa hangat yang mengalir dalam dada saya. Ternyata, meskipun saya merasa begitu kecil dan terasing, ada seseorang di luar sana yang ingin mendengar, yang ingin menerima saya apa adanya.

Begitulah awal pertemuan saya dengan Aero, seorang teman dari dunia maya yang memberi saya kesempatan untuk melihat diri saya dengan cara yang berbeda. Saya tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi satu hal yang saya tahu pasti: hidup saya tidak akan pernah sama lagi setelah ini.

Artikel Terbaru

Tulis Komentar Anda

Your email address will not be published. Required fields are marked *