Daftar Isi
Halo pembaca! Kali ini, kamu akan dibawa ke dalam kisah yang penuh warna dan emosi. Ikuti perjalanan yang tak terduga ini dan rasakan sensasinya!
Cerpen Xeni, Gadis Berjiwa Stylish dan Gaul
Senyumanku hampir tak pernah lepas dari wajahku. Hidupku penuh dengan warna, ceria, dan tentu saja, teman-teman yang selalu membuat segalanya lebih hidup. Namaku Xeni, dan meskipun tak ada yang menganggapku spesial, aku tahu bahwa aku punya sesuatu yang tak dimiliki banyak orang—semangat untuk menikmati hidup. Dikelilingi teman-teman yang setia, aku merasa selalu ada yang mendukung, tertawa, dan berbagi cerita. Hidupku begitu mudah untuk aku nikmati, sampai suatu hari, semuanya berubah.
Hari itu adalah hari pertama aku masuk kuliah di semester baru. Aku duduk di bangku kuliah yang hampir penuh, mencari-cari kursi yang masih kosong. Aku melihat sebuah kursi kosong di barisan tengah, dekat dengan jendela. Sempurna. Aku menyelipkan tas di kursi dan duduk, mengeluarkan laptop dari tas ranselku. Semua orang terlihat sibuk dengan urusan mereka sendiri, namun aku tak merasa canggung. Di kampus, aku selalu punya kemampuan untuk merasa nyaman di antara banyak orang.
Namun, ada sesuatu yang berbeda pada hari itu. Saat aku sedang menyetel musik di earphone, aku merasakan seseorang duduk di sebelahku. Aku mengabaikannya, sudah biasa kalau ada teman baru yang bergabung dalam kelas. Tapi tiba-tiba, aku mendengar suara halus yang mengejutkan.
“Hai,” suara itu terdengar ragu, namun hangat. Aku menoleh, dan di sana dia duduk. Seorang gadis dengan rambut pendek yang tampak natural, sedikit berantakan, mengenakan jaket denim biru yang agak lusuh, dan celana jeans sobek di bagian lutut. Wajahnya polos, dengan mata yang jernih, tapi ada sesuatu yang berbeda tentangnya—sesuatu yang membuatku merasa dia bukan sekadar orang biasa.
“Hai,” jawabku, sambil tersenyum. Aku mencoba membuatnya merasa lebih santai. “Gak nyangka ada yang duduk di sini.”
Gadis itu hanya mengangguk dan tersenyum kecil. “Iya, aku baru pindah tempat duduk. Di belakang terlalu banyak yang berbicara.”
Aku mengangguk paham. Kami berdua mulai tertawa kecil, meski kami belum saling mengenal. Namun, entah kenapa aku merasa ada koneksi. Mungkin karena suasana kuliah yang penuh dengan energi muda, atau mungkin karena dia punya aura yang berbeda. Aku suka orang yang bisa santai dan tidak terlalu terbebani oleh banyak hal.
Selama beberapa minggu berikutnya, kami mulai saling berbicara lebih banyak. Namanya Dira. Dia bukan tipe orang yang langsung bersosialisasi dengan semua orang, dan itu yang membuatku tertarik. Terkadang, saat ada waktu luang, aku duduk bersamanya dan berbicara tentang hal-hal kecil yang terjadi di sekitar kampus. Dia bukan orang yang banyak bicara, tapi kata-katanya selalu tepat dan sering kali membuatku berpikir lebih dalam.
Hari demi hari, kami semakin dekat. Tapi satu hal yang selalu membuatku merasa aneh adalah betapa Dira jarang sekali menunjukkan ekspresi yang berlebihan. Dia terlihat bahagia, tapi terkadang aku bisa melihat sedikit kesedihan yang tersembunyi di balik tatapannya yang tenang.
Namun, meskipun begitu, dia punya cara untuk membuat hari-hariku lebih bermakna. Aku merasa bisa menjadi diriku sendiri ketika bersamanya, tanpa perlu berpura-pura menjadi seseorang yang berbeda. Dira mungkin bukan teman yang paling ramai atau paling banyak bicara, tapi dia punya kehadiran yang membuat dunia seakan berhenti sejenak setiap kali dia ada di dekatku.
Aku mulai menganggapnya lebih dari sekadar teman kuliah. Dira mulai menjadi bagian dari hidupku, bagian yang kutunggu setiap harinya. Aku tahu aku sangat bahagia bisa mengenalnya, tapi aku juga merasa ada yang belum aku ketahui tentang dirinya. Ada banyak hal yang belum dia ceritakan kepadaku. Mungkin aku yang terlalu terburu-buru, terlalu asyik dalam kebersamaan kami, dan mungkin dia memang bukan tipe orang yang suka membuka diri terlalu cepat.
Suatu malam, ketika kami sedang berjalan pulang bersama setelah kelas malam yang panjang, Dira mendadak berhenti di trotoar. Aku menoleh, dan dia tampak sedikit bingung. “Xeni, bolehkah aku bertanya sesuatu?” suara Dira terdengar sangat serius, jauh lebih serius dari biasanya.
“Ya, tanya apa saja,” jawabku, merasa sedikit terkejut dengan perubahan nada suaranya.
Dia menghela napas panjang. “Kenapa kamu mau berteman denganku? Maksudku, aku bukan tipe orang yang banyak teman. Aku tidak banyak bicara, aku kadang merasa seperti orang asing di sekitar orang-orang.” Matanya menatap jalanan di depan kami, seakan-akan mencari jawaban yang bisa menghilangkan ketegangan dalam hatinya.
Aku terdiam sejenak, lalu menggenggam tangannya. “Dira, kadang kita gak perlu menjadi orang yang ramai atau selalu terlihat sempurna untuk bisa jadi teman. Aku cuma merasa nyaman dekat kamu. Kamu gak perlu khawatir soal itu.”
Dira terdiam, lalu tersenyum tipis. Senyumnya kali ini terasa lebih tulus, dan entah kenapa, aku merasa sedikit lega. Namun, aku tahu ada sesuatu yang dia sembunyikan. Sesuatu yang membuatnya tak bisa sepenuhnya membuka diri.
Hari itu, aku pulang dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, aku merasa sangat dekat dengan Dira, tetapi di sisi lain, ada sesuatu yang membuatku khawatir. Aku tidak tahu apa yang dia sembunyikan, dan aku juga tidak ingin memaksanya untuk bercerita lebih banyak dari yang dia inginkan.
Namun, apa pun itu, aku bertekad untuk tetap berada di sisinya. Karena mungkin, hanya dengan waktu dan kebersamaan, dia akan mulai merasa lebih nyaman. Karena teman sejati bukanlah orang yang hanya ada saat senang, tetapi juga yang tetap ada meski badai datang menghadang.
Tanpa sadar, aku mulai memikirkan bagaimana aku bisa membuat Dira merasa lebih bahagia, lebih diterima, lebih dicintai. Entah kenapa, seiring berjalannya waktu, aku merasa bahwa pertemuan kami bukan sekadar kebetulan. Aku ingin lebih dari sekadar teman. Aku ingin menjadi orang yang selalu ada untuknya, apapun yang terjadi.
Cerpen Yara, Gadis Paling Hits di Pergaulan
Pernahkah kamu merasa dunia ini begitu penuh warna, sampai kamu hampir tidak bisa memilih warna mana yang lebih indah untuk dicintai? Begitulah aku dulu. Dunia penuh dengan tawa, cinta, dan kebahagiaan—setidaknya itulah yang aku pikirkan. Aku adalah Yara, gadis yang selalu menjadi pusat perhatian di mana pun aku berada. Sejak kecil, aku terbiasa berada di tengah keramaian, dikelilingi teman-teman yang selalu mendukung dan menyanjung. Aku selalu berpikir bahwa kebahagiaan itu bisa didapatkan hanya dengan menjadi “hits”, dengan menjadi seseorang yang banyak dikenal dan dikelilingi.
Namun, ada satu hal yang aku tidak tahu, hal yang baru aku temui saat bertemu dengan Raka—sahabatku yang sejati, yang tak pernah aku harapkan akan hadir dalam hidupku.
Pagi itu adalah pagi yang cerah, langit biru yang sempurna untuk hari pertama perkenalanku dengan Raka. Aku ingat betul bagaimana suasana di sekolah saat itu—sebuah sekolah elit yang selalu dipenuhi dengan kegemerlapan. Teman-teman sekelasku sibuk membicarakan hal-hal yang terlihat sangat penting di dunia mereka. Ada yang membahas tentang tren mode, ada yang berbicara tentang pacar baru, sementara aku… aku hanya duduk di tempat dudukku, menikmati segelas jus jeruk yang disiapkan oleh ibu sebelum aku berangkat.
Kelas baru dimulai, dan aku duduk di deretan depan, seperti biasa. Wajah-wajah teman-teman baru mengisi kelas ini, dan aku tak bisa menahan diri untuk berpikir siapa yang akan menjadi teman dekatku. Di antara wajah-wajah itu, ada satu yang menarik perhatianku—Raka.
Dia berbeda dengan yang lain. Sederhana, tak banyak bicara, dan sepertinya tidak terlalu peduli dengan popularitas. Raka duduk di bangku sebelahku, namun dia tampak seperti tidak terlalu tertarik dengan dunia di sekitarnya. Matanya tertunduk, buku-bukunya lebih sering terbuka daripada obrolan dengan teman-teman lainnya. Mungkin aku yang terlalu penasaran, atau mungkin memang ada sesuatu yang mengganggu pikiranku, namun aku merasa ada sesuatu yang menarik dari dirinya.
Hari itu aku memutuskan untuk berbicara dengannya. Aku memulai percakapan dengan kalimat paling biasa yang bisa kuucapkan, “Kamu Raka, kan? Aku Yara.”
Aku menyapanya dengan senyuman khas yang biasa aku berikan pada semua orang, namun dia hanya mengangkat wajahnya sedikit, memberikan senyum tipis yang bahkan hampir tak terlihat. Aku tidak merasa canggung, meskipun aku tahu dia bukan tipe orang yang senang terlalu banyak berbicara. “Kamu suka baca buku, ya?” tanyaku lagi, mencoba mencari topik pembicaraan.
“Hmm,” jawabnya singkat, sambil mengangguk pelan.
Aku tertawa pelan, merasa sedikit aneh karena aku tak tahu harus melanjutkan pembicaraan ke mana. Tapi entah kenapa, hatiku seperti memberi dorongan untuk terus mencoba. “Aku juga suka baca. Terutama novel-novel romantis. Kamu suka baca yang seperti apa?”
Raka menatapku sejenak, kemudian menjawab, “Aku suka yang lebih berat… mungkin filosofi. Aku suka memikirkan hal-hal yang lebih dalam.”
Aku terdiam. Jujur, aku tidak mengerti apa yang dia katakan, tapi aku tahu ada sesuatu di balik kata-katanya yang membuatku ingin tahu lebih banyak tentang dirinya. Tidak seperti teman-teman sekelasku yang lebih sering membicarakan hal-hal dangkal, Raka seperti membawa dunia yang berbeda ke dalam percakapan ini.
Namun, keesokan harinya, aku baru sadar bahwa aku ternyata sudah memulai hubungan dengan seseorang yang sangat berbeda dari diriku. Raka bukanlah orang yang membutuhkan perhatian. Dia tidak butuh menjadi pusat perhatian, apalagi menjadi “hits”. Dia tidak peduli siapa yang mengenalnya atau tidak. Dan itu, entah kenapa, membuatku merasa… tertarik. Karena aku yang selalu hidup di bawah sorotan, tiba-tiba menemukan ketenangan dalam kesederhanaan Raka.
Saat itu aku mulai menyadari satu hal—dunia yang selama ini aku anggap penuh warna, ternyata tak selalu memberi kebahagiaan yang sesungguhnya. Ada rasa kesepian dalam keramaian, ada kekosongan dalam segala kegemilangan yang kuperlihatkan pada dunia. Bersama Raka, aku mulai belajar bahwa tidak semua orang ingin dilihat. Terkadang, kesendirian bisa lebih berharga daripada keramaian yang mengelilingi kita.
Aku mulai sering berbicara dengannya, setiap kali aku ingin merasa seperti diriku sendiri tanpa topeng yang biasa kubawa. Tapi meskipun begitu, aku tetap tidak bisa menahan perasaan aneh yang selalu muncul—sebuah perasaan yang semakin berkembang, namun aku tak tahu bagaimana cara menjelaskannya. Aku merasa seolah ada sesuatu yang lebih antara kami berdua. Tetapi, aku tidak tahu apakah dia merasakannya juga.
Satu bulan berlalu. Setiap hari kami berbicara, berbagi cerita tentang hal-hal yang penting bagi kami, atau kadang hanya duduk diam bersama, menikmati keheningan yang terasa begitu nyaman. Namun, meskipun ada ikatan yang mulai terjalin, aku tidak pernah berani mengungkapkan apa yang aku rasakan. Aku tahu, kadang cinta itu lebih baik tetap diam. Kadang, lebih baik menjaga jarak, bahkan ketika hatimu ingin berlari lebih dekat.
Suatu hari, saat aku sedang duduk di bangku taman sekolah setelah pelajaran berakhir, Raka datang menghampiriku dengan senyum yang sedikit berbeda dari biasanya. “Yara,” katanya pelan, seakan-akan ada sesuatu yang mengganggunya. “Aku mau tanya sesuatu.”
Aku menatapnya, merasa sedikit cemas. “Tanya apa?”
Dia terdiam sejenak, matanya sedikit berkerut, lalu dengan hati-hati ia berkata, “Apa kamu… merasa kesepian?”
Aku tersentak. Pertanyaan itu, yang seharusnya sederhana, justru membuat hatiku berdebar. Aku ingin mengatakan tidak, tetapi kata-kata itu terasa berat di mulut. Aku ingin menjawab, ingin mengungkapkan perasaan yang selama ini kupendam, tapi aku hanya bisa mengangguk pelan.
“Jangan khawatir,” lanjutnya, “Kadang kita hanya butuh waktu untuk mengerti diri kita sendiri.”
Dia tersenyum dan duduk di sampingku. Tanpa berkata apa-apa lagi, kami hanya duduk di sana, berdua, di bawah pohon besar yang selalu ada di taman itu, sementara dunia di sekitar kami terus berputar tanpa peduli. Tapi aku tahu, aku telah menemukan sesuatu yang lebih penting dari sekadar menjadi “hits”. Aku telah menemukan seseorang yang bisa membuatku merasa cukup, bahkan ketika aku merasa tidak ada yang bisa mengerti.
Itulah awal mula kami. Begitulah pertemuan pertama kami—dengan kata-kata yang tidak terucap, dengan perasaan yang tidak terungkap, namun saling memahami tanpa perlu banyak penjelasan.
Cerpen Ziza, Gadis Paling Populer di Kampus
Aku masih ingat, dengan sangat jelas, saat pertama kali aku bertemu dengan Dita. Saat itu, aku sedang duduk di salah satu bangku di kantin kampus, menikmati siang yang cerah, seperti biasa, bersama teman-teman sekelasku. Suasana begitu riuh dengan suara tawa dan obrolan ringan, tak sedikit yang memanggil nama-nama populer yang biasa duduk di meja kami. Karena ya, kami adalah kelompok yang dikenal di kampus, dan itu membuat semuanya serba mudah.
Aku Ziza. Gadis yang selalu menjadi pusat perhatian, sering menjadi bahan perbincangan di kalangan teman-teman dan bahkan dosen. Dengan penampilan yang tak pernah kalah menawan dan kepribadian yang ramah, aku memang selalu merasa mudah bergaul dan diterima oleh banyak orang. Segala hal selalu terasa menyenangkan jika berada dalam keramaian, dan aku memang menyukai itu. Aku tak pernah merasa kesepian, karena selalu ada banyak orang di sekitarku.
Namun, di tengah semua keramaian itu, aku merasa ada sesuatu yang kurang. Kadang, aku merasa sepi meski dikelilingi banyak orang. Ada kalanya aku mendambakan seseorang yang benar-benar mengerti aku, bukan hanya sekadar terpesona oleh popularitasku.
Hingga suatu hari, dia datang—Dita.
Dita bukan siapa-siapa di mataku saat pertama kali melihatnya. Gadis pendiam dengan rambut panjang tergerai yang selalu dipelihara rapih, dan mata yang tampak tak pernah lepas dari buku yang dibacanya. Dia berbeda dengan teman-teman lain yang lebih banyak bicara dan mudah bergaul. Dita lebih suka diam, seolah membangun dinding yang memisahkan dirinya dengan dunia sekitar. Aku ingat betul, saat itu aku sedang duduk di dekat jendela kantin, sementara dia duduk di pojokan yang jauh dari keramaian, sendirian, dengan secangkir teh manis di tangannya.
Awalnya, aku tak terlalu peduli. Lagipula, siapa yang tak mengenal aku? Siapa yang tak ingin jadi teman dekat dengan Ziza? Pasti banyak yang berusaha mendekat. Tapi, ada sesuatu dalam diri Dita yang membuatku penasaran. Mungkin karena dia tidak mempedulikanku sama sekali. Tidak ada tatapan kagum atau senyuman yang dipaksakan seperti yang biasa aku terima dari orang lain. Seolah dia terlalu sibuk dengan dunianya sendiri.
Hari demi hari, aku sering melihatnya duduk di tempat yang sama, membaca buku yang sama, dengan ekspresi wajah yang tak bisa kutebak. Ada kedamaian dalam dirinya yang bahkan aku sendiri kadang tidak bisa temukan. Itu yang membuatku terus berpikir, siapa sebenarnya Dita?
Suatu siang, aku memberanikan diri untuk menghampirinya. Tanpa rencana yang matang, aku hanya ingin tahu lebih banyak tentangnya. Aku tersenyum, mendekati mejanya dengan langkah santai, meski hatiku sedikit berdegup lebih cepat.
“Hai, Dita, boleh aku duduk di sini?” tanyaku sambil tersenyum ramah. Dita menoleh ke arahku, matanya yang tenang menatapku sejenak, lalu dia mengangguk pelan. Aku duduk di kursi yang kosong, menatap buku yang ada di tangannya.
“Kamu suka membaca?” tanyaku lagi, mencoba memulai percakapan.
Dita hanya mengangguk, tangannya tetap memegang buku, namun kali ini ia sedikit memiringkan wajahnya ke arahku. Seolah dia ingin tahu, kenapa aku tiba-tiba datang mengajaknya berbicara.
“Apa yang kamu baca?” Aku mencoba membuka percakapan lebih dalam, meski aku tahu aku sedang mencoba melangkah ke dunia yang asing bagiku. Dunia Dita.
“Buku puisi,” jawabnya pelan, suara lembut itu terdengar begitu damai di telingaku.
“Oh, kamu suka puisi?” Aku semakin tertarik. Tidak banyak orang di kampus ini yang menyukai puisi. Sebagian besar lebih tertarik pada hal-hal yang lebih… mainstream. Aku sering merasa orang-orang di sekitarku hanya mengejar popularitas dan tampaknya itu sudah cukup untuk membuat mereka bahagia. Tapi Dita, dia berbeda. Buku puisi? Itu hal yang jarang kutemui di kalangan teman-temanku.
“Iya, saya suka,” jawab Dita lagi. Hanya kata-kata singkat yang keluar dari bibirnya, namun entah kenapa, aku merasa seperti ada kedalaman dalam setiap ucapannya. Setiap kata yang keluar darinya bagaikan pesan tersembunyi, seperti puisi itu sendiri.
Aku terdiam sejenak, mencoba mencari cara agar percakapan ini tidak berakhir begitu saja. Aku tahu, Dita bukan tipe orang yang mudah diajak bicara, apalagi kalau orang yang mendekatinya hanya sekadar ingin tahu atau mencari perhatian. Namun, aku merasa ada sesuatu dalam dirinya yang membuatku ingin lebih mengenalnya.
“Kenapa kamu selalu sendiri di sini?” Aku tak bisa menahan rasa penasaran. Tentu saja, itu pertanyaan yang agak pribadi, tetapi entah mengapa, aku merasa ada kenyamanan di dekat Dita.
Dita menatapku sejenak dengan tatapan yang cukup tajam, seperti memeriksa apakah aku benar-benar ingin tahu. Setelah beberapa detik, dia berkata dengan tenang, “Kadang, saya hanya ingin menikmati kesendirian, Ziza. Ini waktu saya untuk berpikir, untuk menghindari keramaian.”
Aku terkejut mendengar jawabannya. Aku tidak pernah menduga Dita, yang terlihat begitu tenang, bisa merasakan keinginan untuk menghindari keramaian. Aku pikir dia adalah tipe orang yang suka kesendirian karena mungkin merasa tidak nyaman bergaul dengan orang banyak. Tapi ternyata, dia justru mencari ketenangan dalam kesendirian. Itu hal yang sangat berbeda dari diriku.
“Kenapa kamu tidak bergabung dengan teman-temanmu?” tanyanya dengan nada yang lembut, seolah dia ingin menguji aku.
Aku terdiam sejenak. Apa yang harus kujawab? Aku tidak pernah benar-benar merasa sendiri meskipun kadang-kadang aku merasa kosong. Aku selalu dikelilingi orang-orang, selalu menjadi pusat perhatian, selalu ada banyak yang ingin berada di dekatku. Tetapi aku menyadari, ada saat-saat tertentu di mana aku juga membutuhkan ruang untuk diri sendiri, untuk merenung. Mungkin itu yang aku cari selama ini, namun tak tahu bagaimana cara mendapatkannya.
“Aku… tidak tahu, mungkin aku hanya merasa bahagia dikelilingi banyak orang,” jawabku, sedikit ragu, namun Dita hanya tersenyum kecil. Senyuman yang lembut, penuh makna. Senyuman yang membuatku merasa seolah aku sedang dibimbing menuju pemahaman yang lebih dalam tentang diriku sendiri.
Hari itu, percakapan kami tidak panjang, namun sepertinya itu adalah titik awal dari sebuah perjalanan yang tak terduga. Setelah itu, aku mulai sering berbicara dengan Dita, dan perlahan aku merasa nyaman dengan kehadirannya. Ia mengajarkanku banyak hal—tentang keheningan, tentang mencari ketenangan, tentang menemukan diri sendiri di tengah keramaian. Dita, yang tidak pernah mencari perhatian, malah membuatku menyadari banyak hal tentang hidupku yang selama ini aku abaikan.
Dari Dita, aku belajar bahwa kesendirian bukanlah sesuatu yang harus ditakuti. Bahwa kadang, di balik kedamaian yang dia ciptakan, ada sebuah kekuatan yang luar biasa. Dan mungkin, hanya Dita yang bisa mengajarkanku itu—tanpa kata-kata yang berlebihan, hanya dengan kehadiran yang tenang, dan senyuman yang jarang ia beri.