Cerpen Tentang Ibuku Adalah Sahabatku

Selamat datang di halaman cerpen kali ini, di mana setiap kalimat membawa kamu lebih dekat pada cerita yang tak terduga. Nikmati kisahnya, ya!

Cerpen Orin, Gadis Paling Hits di Pesta

Aku ingat sekali hari itu, ketika aku pertama kali bertemu dengannya. Namanya Arga. Seorang pria dengan senyum yang bisa membuat setiap wanita terpesona. Sejak pertama kali melihatnya di pesta ulang tahun teman kuliahku, aku tahu, hari itu akan mengubah hidupku. Aku adalah Orin, gadis yang dikenal sebagai “gadis paling hits” di pesta-pesta, namun sebenarnya, aku bukanlah orang yang mudah jatuh hati.

Pesta itu adalah salah satu pesta yang paling ramai yang pernah aku hadiri. Musik bergema, tawa teman-temanku memenuhi ruangan, dan lampu berwarna-warni menghiasi setiap sudut. Aku sedang asyik berbicara dengan beberapa teman lama ketika dia muncul. Dari balik kerumunan, aku melihat Arga berdiri dengan percaya diri. Penampilannya simpel tapi menawan—kaos hitam dan jeans yang sedikit robek di bagian lutut, rambutnya yang disisir acak-acakan, tetapi tetap terlihat keren.

Untuk sesaat, aku merasa dunia seperti berhenti berputar. Aku tidak tahu kenapa, tetapi ada sesuatu yang berbeda tentang dia. Biasanya, aku adalah pusat perhatian, selalu ada di tengah keramaian, berbicara dengan banyak orang, tertawa, menikmati setiap momen. Tetapi hari itu, sepertinya aku menjadi sedikit lebih canggung.

Aku memperhatikan Arga dari kejauhan. Seolah-olah ada magnet yang menarikku, dan aku tidak bisa berpaling. Tiba-tiba, matanya bertemu dengan mataku. Senyum yang dia berikan sangat lembut, seolah-olah dia tahu persis apa yang aku rasakan. Itu membuat jantungku berdetak lebih cepat, lebih keras dari sebelumnya. Aku mencoba untuk tetap tenang, namun entah kenapa aku merasa sangat gugup.

“Orin, kamu ngapain di sini?” suara teman dekatku, Maya, menginterupsi lamunanku. Maya selalu tahu cara membuyarkan konsentrasi, dan saat itu, dia tidak kalah dengan menatap ke arah Arga.

Aku tersadar. “Eh, nggak ada apa-apa, cuma ngeliatin orang aja,” jawabku sambil tertawa, meskipun hatiku masih berdebar kencang.

“Yang mana?” tanya Maya dengan senyum jahil.

Aku mengangguk ke arah Arga, yang kini sedang berbicara dengan beberapa temannya. Maya mengikuti arah pandangku, lalu dia menatapku dengan senyum nakal. “Oh, kamu suka dia ya? Udah lama banget dia nggak datang ke pesta-pesta gini. Gimana, mau kenalan?”

Aku hanya tersenyum malu, berusaha untuk tidak terlihat canggung. Sebenarnya, aku tidak tahu kenapa pertemuan itu begitu penting bagiku. Aku telah mengenal banyak pria tampan di pesta-pesta, tetapi kenapa Arga berbeda?

Tanpa sempat menjawab Maya, aku melihat Arga melangkah mendekat ke arah kami. Pikiranku berputar cepat, aku berusaha menjaga sikap. Maya menyenggolku sedikit, memberi isyarat bahwa ini saatnya. Aku hanya bisa tersenyum kaku dan berharap tidak terlihat terlalu canggung.

“Hey,” suara Arga mengalun lembut, dan dia tersenyum padaku. Senyumnya membuat dunia sekitar kita seakan menghilang. Aku bahkan tidak bisa berkata-kata. Hanya ada dia dan aku di sana.

“Hai,” jawabku dengan suara yang lebih lemah dari yang aku inginkan, berusaha menjaga agar tidak tampak terlalu grogi.

Dia tertawa pelan. “Aku baru kali ini lihat kamu di sini, biasanya kamu pasti selalu di tengah keramaian, kan?” katanya sambil menatapku dengan pandangan tajam yang entah kenapa membuatku merasa seolah dia sudah mengenalku sejak lama.

Aku tertawa canggung. “Ah, itu karena aku kadang butuh tempat untuk menyendiri juga. Pesta itu menyenangkan, tapi terkadang, aku lebih suka duduk di samping teman-teman lama.”

Arga mengangguk, seolah-olah memahami. “Aku juga suka begitu. Tapi kadang, sulit menemukan tempat yang tenang, bukan?”

Aku hanya tersenyum dan mengangguk. Kami berbicara sejenak tentang hal-hal kecil—tentang kuliah, tentang teman-teman yang hadir di pesta, dan bagaimana aku selalu merasa seperti aku harus menjadi pusat perhatian, padahal sebenarnya aku sering merasa lelah dengan semuanya. Aku tidak mengharapkan percakapan ini mengarah ke sesuatu yang lebih dalam. Tapi entah kenapa, setiap kata yang keluar dari mulut Arga, aku merasa lebih banyak terbuka, lebih jujur pada diriku sendiri.

Beberapa saat kemudian, Maya menyarankan untuk berfoto bersama. Aku setuju, meskipun aku merasa sedikit canggung. Kami berdiri berdampingan, dan saat kamera menangkap gambar, aku bisa merasakan sentuhan halus di lengan bawah Arga. Mungkin itu hanya kebetulan, mungkin tidak. Namun, jantungku kembali berdegup kencang.

Setelah foto selesai, dia bertanya, “Kapan kita bisa ngobrol lagi? Mungkin lebih tenang, tanpa keramaian ini.”

Aku terdiam sejenak. Mungkin ini yang dimaksud dengan takdir, atau mungkin ini hanya perasaan sesaat yang tak perlu dibesar-besarkan. Tetapi entah kenapa, saat itu aku ingin lebih mengenalnya. Ada sesuatu dalam dirinya yang menarik, yang membuatku merasa nyaman meskipun baru pertama kali bertemu.

Aku tersenyum. “Aku akan senang kalau bisa ngobrol lebih banyak. Kapan-kapan kita atur waktu, ya?”

Arga mengangguk, senyumnya tetap tidak berubah. “Oke, aku tunggu.”

Dia berpamitan, meninggalkan kami untuk kembali bergabung dengan teman-temannya. Aku berdiri di sana, merasa bingung antara merasa bahagia dan cemas. Ada sesuatu yang berbeda tentang pertemuan ini—sesuatu yang tidak bisa aku jelaskan. Aku mencoba mengalihkan perasaan itu, namun saat mata kami bertemu lagi di kerumunan, aku merasa seolah-olah ada ikatan yang terjalin di antara kami. Tak ada yang bisa mengatakannya, namun hatiku sudah tahu—ini adalah awal dari sesuatu yang lebih.

Cerpen Putri, Si Penguasa Gaul di Kampus

Aku masih ingat saat pertama kali melihatnya, meski itu sudah bertahun-tahun yang lalu. Saat itu, aku masih duduk di bangku SMA dan dunia terasa begitu cerah. Aku adalah gadis yang memiliki segalanya: popularitas, teman-teman yang loyal, serta segala kemewahan yang diinginkan remaja seusia. Nama saya Putri, dan di kampus, aku dikenal sebagai ‘Gadis Si Penguasa Gaul’. Aku punya segalanya. Tapi satu hal yang paling aku syukuri, adalah aku memiliki ibu yang luar biasa.

Di mata teman-temanku, ibu adalah sosok yang hampir selalu berada di belakang layar. Namun bagiku, ibu adalah sosok yang selalu ada di sampingku, sebagai sahabat terbaik yang tidak pernah menghakimi atau menggurui. Kami berbagi banyak hal. Tapi apa yang mereka tidak tahu, adalah bagaimana ibu dan aku benar-benar ‘bertemu’ dalam arti yang sesungguhnya.

Awalnya, aku tidak pernah menyadari adanya kekosongan dalam hidupku. Aku memiliki teman-teman yang selalu mendukung, dan aku bisa mendapatkan apapun yang kuinginkan dengan mudah. Namun, saat aku beranjak dewasa, aku mulai merasa ada sesuatu yang hilang. Itu terjadi pada malam setelah aku menghadapinya—pertama kalinya.

Malam itu, aku kembali ke rumah setelah acara kampus. Pesta besar yang diadakan di klub malam itu memang tak bisa dilewatkan. Banyak teman-teman yang ikut serta, tapi setelah pesta selesai, aku merasa hampa. Ada yang berbeda. Bukan hanya karena aku merasa capek dan sedikit mabuk, tapi ada yang mengganjal di hatiku.

Aku teringat ibu. Setelah aku membuka pintu rumah dan masuk ke ruang tamu yang remang-remang, aku melihat ibu sedang duduk di sofa, menatap TV yang tak terlalu dipedulikannya. Rambut ibu yang sedikit beruban tetap terlihat rapi meskipun wajahnya tampak lebih lelah daripada biasanya. Ada kesan kesendirian di matanya, dan aku langsung merasa cemas.

“Apa yang kamu lakukan di sini, Bu? Bukannya tidur?” tanyaku, sedikit kesal karena merasa terkejut melihat ibu masih terjaga.

Ibu tersenyum tipis, dan dengan suara lembutnya ia menjawab, “Aku menunggumu, Nak.”

Aku berhenti sejenak. Menunggu? Untuk apa?

Tapi ibu tidak menjelaskan lebih jauh. Ia hanya mengangkat alis, mengisyaratkan untuk duduk di sampingnya. Aku merasa canggung, namun entah kenapa aku menuruti juga. Aku duduk di sebelahnya, merasakan aroma parfum yang selalu ibu pakai—parfum yang sudah lama tidak aku hirup karena kesibukanku.

“Bagaimana acara kampus tadi?” tanya ibu, matanya penuh perhatian.

Aku mencoba tersenyum, meskipun ada perasaan aneh yang melanda diriku. “Seru, Bu. Pesta besar, banyak teman. Cuma capek aja.”

Ibu mengangguk, lalu diam sejenak, seakan memikirkan sesuatu yang berat. Aku menatapnya bingung, merasa ada sesuatu yang tak biasa dengan sikap ibu malam itu.

Tiba-tiba, ibu menatapku dengan pandangan yang berbeda. Pandangannya bukan lagi pandangan seorang ibu yang penuh kasih sayang, melainkan pandangan seorang teman yang sudah lama mengenal diriku. Tanpa sadar, kata-kata itu keluar begitu saja.

“Putri, kenapa kamu merasa sepi?” tanya ibu dengan nada lembut, namun tajam.

Aku terdiam. Aku tahu pertanyaan itu bukan sekadar pertanyaan biasa. Itu pertanyaan yang menuntut jawabanku yang sebenarnya. Aku merasa seperti tertangkap basah oleh ibu. Padahal, aku tidak pernah merasa sepi sebelumnya. Aku selalu dikelilingi banyak teman, selalu merasa hidupku sempurna.

Tapi kenapa sekarang, setelah malam yang penuh gemerlap itu, ada sesuatu yang kosong? Kenapa aku merasa hampa?

Aku menghela napas panjang, berusaha mencari kata-kata yang tepat. “Aku… Aku tidak tahu, Bu. Semua tampak baik-baik saja, tapi entah kenapa aku merasa ada yang kurang.”

Ibu mengangguk perlahan, seolah memahami apa yang aku rasakan. “Kadang, kita merasa semua sudah cukup, Putri. Tapi yang lebih penting adalah apa yang ada di dalam hati kita. Apakah kita benar-benar merasa dekat dengan diri kita sendiri, atau hanya berlarian mengejar hal-hal yang sementara?”

Aku menunduk, merasakan hangat di dada. Kata-kata ibu terasa sangat dalam, terlalu dalam untuk aku yang biasa merasa nyaman dalam keramaian. Aku bisa merasa mata ibu menatapku, penuh kasih dan perhatian, seperti ada rahasia yang sedang ibu ungkapkan kepadaku. Seketika, ada rasa kehilangan yang mendalam. Aku merasa ibu tahu lebih banyak tentang diriku daripada yang aku ketahui tentang diriku sendiri.

“Putri, kamu boleh punya banyak teman, banyak hal yang kamu inginkan. Tapi ingat, ibu akan selalu ada. Ibu adalah sahabatmu yang terbaik.”

Aku merasa mataku mulai berkaca-kaca. Sebuah perasaan yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya, perasaan yang aneh dan kuat. Ibu tidak hanya sebagai ibu bagiku. Dia adalah sahabat yang tidak pernah menghakimi. Selama ini aku terlalu sibuk mengejar hal-hal duniawi, sampai lupa untuk benar-benar mengenal diriku dan hubungan yang lebih mendalam dengan orang-orang yang menyayangiku.

Ibu memegang tanganku dengan lembut, seolah memberi kekuatan yang tak terucapkan. “Terkadang, kita hanya butuh waktu untuk berhenti sejenak dan melihat ke dalam diri kita. Kamu tidak sendiri, Putri. Aku selalu ada.”

Aku menatap ibu, dan untuk pertama kalinya, aku merasa seolah-olah aku telah menemukan kembali diriku. Seiring berjalannya waktu, aku belajar bahwa hidup bukan hanya tentang pesta, popularitas, atau teman-teman. Hidup adalah tentang koneksi sejati dengan orang-orang yang kita cintai, dan terutama, dengan diri kita sendiri.

Kita mungkin bisa memiliki segala hal di dunia ini, tapi tanpa kedekatan dengan orang-orang yang benar-benar peduli, segalanya terasa hampa. Dan aku tahu, ibuku adalah sahabat terbaik yang bisa kuandalkan—selamanya.

Sejak malam itu, aku memutuskan untuk lebih memperhatikan ibu. Aku tidak ingin lagi terjebak dalam rutinitas yang hanya memberi kebahagiaan sementara. Karena di dunia yang terus berputar ini, ada satu hal yang pasti: kasih sayang ibu adalah hal yang paling abadi.

Artikel Terbaru

Tulis Komentar Anda

Your email address will not be published. Required fields are marked *