Cerpen Singkat Tentang Sahabat Kecil

Apa kabar, teman-teman? Siap-siap untuk terinspirasi oleh kisah tentang gadis-gadis yang tak gentar menghadapi kehidupan!

Cerpen Widya, Gadis Paling Modis

Aku masih ingat dengan jelas, bagaimana hari itu dimulai. Pagi yang cerah, dengan langit biru yang tak bercacat, dan angin yang berhembus pelan, seolah-olah menyambut langkah-langkah pertama kami menuju masa depan yang tidak kami ketahui.

Saat itu aku duduk di bangku taman sekolah, mengenakan gaun putih dengan pita merah muda yang mencolok, yang memang selalu menjadi ciri khas gaya berbusanaku. Aku selalu menjadi pusat perhatian, dan itu tak pernah menggangguku. Aku merasa nyaman dengan perhatian itu, karena aku selalu tahu, di dunia yang serba cepat dan selalu ingin terlihat sempurna, aku adalah gadis yang bisa membuat semuanya terasa sedikit lebih indah.

Namun, hari itu, di bawah pohon besar yang biasanya aku pilih untuk beristirahat, aku melihat seseorang yang berbeda. Seorang gadis, dengan rambut pendek yang acak-acakan dan kacamata bulat besar di matanya. Pakaian yang dia kenakan tak mencerminkan gaya modern seperti yang kuharapkan di antara teman-teman sekolah kami. Dia mengenakan baju lengan panjang yang sudah agak usang dan celana panjang yang tampak sedikit kebesaran. Bahkan, sepertinya dia tidak terlalu peduli dengan penampilannya. Saat matanya bertemu dengan mataku, ada sedikit keraguan dalam tatapannya, seolah-olah dia sedang mempertimbangkan sesuatu yang besar.

Aku tidak tahu kenapa, tapi ada sesuatu yang membuatku tertarik padanya. Ada sesuatu yang berbeda dalam cara dia memandang dunia, yang tidak bisa aku temukan pada gadis-gadis lain yang biasa berkeliaran di sekitar aku. Aku rasa, mungkin dia tidak peduli padaku, tidak peduli dengan semua perhatian yang ku dapatkan. Tapi itu justru membuatku merasa ingin mengenalnya lebih dekat.

Aku memutuskan untuk mendekatinya.

“Hei,” kataku dengan senyum lebar, mencoba untuk memecah keheningan yang terasa aneh. “Aku belum pernah melihatmu di sini sebelumnya. Namamu siapa?”

Gadis itu menatapku dengan bingung, seolah-olah tidak tahu harus berkata apa. Kemudian, setelah beberapa detik yang terasa lama, dia menjawab pelan, “Widya.”

“Widya?” aku mengulang namanya dengan nada heran. “Nama yang indah,” kataku tulus, meski aku tahu aku sedang tidak mengatakannya dengan cara yang biasa. Biasanya aku selalu memuji orang dengan cara yang sedikit lebih canggih atau penuh gaya, tapi entah kenapa hari itu kata-kataku terasa sangat sederhana. Mungkin itu karena aku merasa sedikit canggung.

Widya hanya mengangguk pelan. “Kamu?” dia bertanya, suaranya hampir seperti berbisik.

“Oh, aku Nara,” jawabku dengan percaya diri, berusaha menunjukkan sisi terbaik diriku. “Senang akhirnya bisa mengenalmu, Widya. Kenapa kamu sendirian di sini?”

Dia mengangkat bahu, lalu menundukkan kepalanya. “Aku tidak punya banyak teman. Mereka… tidak mengerti aku.”

Aku terdiam, mendengar kalimat itu. Ada kesan kesedihan yang begitu dalam di dalam suara Widya. Aku yang selalu dikelilingi teman-teman, yang hidupku dipenuhi sorotan dan perhatian, tidak pernah merasakan perasaan itu. Bagaimana rasanya tidak dimengerti? Tidak punya seseorang yang benar-benar bisa menerima kamu apa adanya?

Aku merasakan sedikit rasa iba, namun lebih dari itu, ada dorongan yang kuat dalam hatiku untuk lebih mengenalnya, untuk membuatnya merasa bahwa dia tidak sendirian di dunia ini. Karena aku tahu, aku bisa menjadi teman yang baik. Aku bisa menunjukkan kepadanya bahwa dunia tidak selalu kejam dan bahwa ada orang yang akan peduli padanya.

“Widya,” kataku lagi dengan hati-hati, “jangan khawatir. Kita bisa jadi teman. Aku bisa menolongmu merasa lebih diterima. Di sini, kamu tidak sendirian, kok.”

Widya menatapku dengan mata yang sedikit lebih terbuka. Ada kebingungannya, tapi juga sedikit harapan yang muncul di sana. Aku bisa melihatnya, walaupun hanya sekejap.

Hari itu, aku tidak tahu kalau itu adalah awal dari perjalanan panjang kami. Tidak ada yang mengira, bahwa dari pertemuan singkat ini, kami akan menjadi sahabat terbaik. Tidak ada yang tahu, bahwa di balik penampilanku yang selalu sempurna dan ceria, ada sebuah hati yang ingin mengenal seseorang lebih dari sekadar penampilan luarnya.

Widya adalah sesuatu yang berbeda. Mungkin dia tidak pernah mengenal dunia penuh warna dan kilau seperti yang aku jalani, tapi aku percaya bahwa ada keindahan tersendiri dalam kejujurannya. Aku ingin memperkenalkan Widya pada dunia yang lebih cerah, namun lebih dari itu, aku ingin belajar darinya. Mungkin, dia akan mengajarkanku bahwa dunia ini tidak hanya soal penampilan, tetapi juga tentang menerima dan dicintai apa adanya.

Aku tidak tahu saat itu, tetapi persahabatan kami akan diuji, dan banyak hal tak terduga akan datang. Tapi satu hal yang pasti, pertemuan kami itu adalah awal dari sesuatu yang lebih besar, lebih dalam, dan lebih berarti daripada yang bisa dibayangkan oleh siapapun.

Itulah bagaimana aku pertama kali bertemu dengan Widya—gadis yang tak pernah peduli dengan tren atau fashion, namun ternyata mengajarkanku tentang nilai yang lebih berharga daripada semua hal itu.

Cerpen Xela, Si Pecinta Party Malam

Aku masih ingat, malam itu seperti baru kemarin. Semua berawal dari pesta di rooftop yang digelar oleh salah satu teman lama di kampus. Namanya Artha, orang yang selalu tahu bagaimana menciptakan keramaian, selalu tahu bagaimana membuat setiap orang merasa seolah dunia milik mereka. Artha tahu aku suka keramaian, dan aku suka menjadi bagian dari keramaian itu.

Di tengah-tengah kilauan lampu neon yang berkelip dan dentuman musik yang menggema, aku melihatmu untuk pertama kalinya.
Wajahmu tidak mencolok. Tapi entah mengapa, saat itu, mataku langsung tertuju padamu. Mungkin karena caramu berdiri di sana, sedikit terasingkan dari kerumunan, memandang sekeliling dengan raut wajah yang cenderung skeptis. Aku bahkan bisa melihat betapa tidak nyamannya kamu dengan suasana itu. Semua orang di sekitarmu sibuk menari dan tertawa. Kamu hanya berdiri, memegang segelas minuman dengan jari-jari yang tampak sedikit gemetar.

Pesta itu berlangsung seperti biasa: penuh dengan tawa yang terdengar lebih keras dari musik yang diputar. Aku berpindah dari satu kelompok teman ke kelompok lain, berbicara, tertawa, dan bergaul, tetapi di balik semua keramaian itu, aku terus merasa ada sesuatu yang aneh. Aku merasa ada yang tidak biasa dengan dirimu, meski aku tahu, kamu bukan orang yang aku kenal. Kamu hanya seseorang yang berdiri di tengah keramaian, tetapi seolah terjebak dalam sepi.

Aku melirikmu lagi, kali ini sedikit lebih lama. Kamu tidak melihat ke arahku. Matamu tertunduk, menatap gelas di tanganmu yang sudah hampir kosong. Aku tahu saat itu, ada sesuatu yang mengganggumu, sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar kebosanan karena suasana pesta ini.

Tiba-tiba, seseorang menyentuh bahuku. Artha, dengan senyumnya yang khas, muncul di sampingku.
“Xela, ada yang ingin kenalan dengan kamu,” katanya sambil melirik ke arahmu.

Aku hanya mengangguk tanpa banyak berpikir, mengikuti Artha yang menarikku ke arahmu. Sebagai seorang gadis pecinta party malam, aku tahu cara untuk berinteraksi dengan siapa pun, tak peduli seberapa canggung atau aneh pertemuan itu. Tapi kali ini, aku merasa sedikit gelisah. Mungkin itu karena ada sesuatu yang berbeda pada dirimu, sesuatu yang aku belum tahu.

Artha memperkenalkan kita berdua.
“Ini Xela, si ratu pesta, dan ini… eh, kamu siapa tadi?”
“Rahel,” jawabmu pelan. Kamu terlihat sedikit kikuk, seolah nama itu keluar dari mulutmu dengan berat. “Panggil aja Rahel.”

Aku tersenyum, mencoba meredakan ketegangan yang tiba-tiba muncul di udara.
“Rahel,” ucapku, “senang bertemu denganmu!”

Kamu tersenyum tipis. Itu adalah senyum yang aneh—tidak penuh, seolah ada beban yang menahanmu untuk tersenyum dengan sepenuh hati. Mungkin itu karena aku sudah terlalu sering bertemu dengan orang-orang yang datang untuk berpesta dan pergi dengan cepat. Aku mengenal banyak wajah baru di setiap acara, namun entah kenapa, aku merasa bahwa Rahel bukanlah orang yang biasa.

“Apa yang membawa kamu ke sini?” tanyaku, meski aku sendiri tahu jawabannya. Pesta memang ada untuk dinikmati, untuk mereka yang ingin menghindari sejenak kenyataan. Tapi Rahel sepertinya bukan tipe orang yang ingin menghindar.

“Kebetulan saja,” jawabmu singkat, mengangkat gelas dengan tangan yang sedikit gemetar. “Teman ngajak. Aku nggak terlalu suka suasana kayak gini.”

Aku tertawa kecil, meski sebenarnya tidak sepenuhnya mengerti. “Tapi kamu di sini, Rahel. Bukankah itu cukup jelas?”

Kamu mengangkat bahu, dan ekspresimu seolah berkata, iya, mungkin, tapi tidak sepenuhnya merasa begitu. Aku merasa ada jarak yang tak terucapkan antara kita, dan itu mengganggu. Biasanya aku tak pernah merasa begitu, karena aku terbiasa mengendalikan suasana, menghidupkan pesta, dan memaksa orang-orang untuk ikut merasakan keceriaan yang aku bawa. Tapi denganmu, entah mengapa, aku tidak bisa merasa sebebas biasanya.

Kami berbicara sebentar, meski percakapan kami cenderung terhenti lebih cepat dari yang kuinginkan. Di saat pesta yang tak pernah berhenti itu, aku merasa seperti berada dalam ruang hampa denganmu. Mungkin karena aku terlalu terbiasa dengan keceriaan yang dipaksakan, aku bahkan tidak tahu bagaimana caranya berinteraksi dengan seseorang yang tidak ingin berpartisipasi dalam semua kebisingan itu.

Sampai akhirnya, kamu mulai bicara. “Aku cuma… nggak cocok dengan suasana kayak gini. Semua orang cuma berpura-pura bahagia.”

Aku terkejut mendengarnya. Jujur, aku tidak tahu harus berkata apa. Sebagai gadis yang selalu terlibat dalam gemerlap kehidupan malam, kalimat itu terasa sangat asing dan tajam. Seperti tertusuk di dadaku.

Aku melihatmu dengan lebih dalam. Wajahmu yang terlihat jauh lebih muda dari usiamu, dengan mata yang menahan kelelahan, dan bibir yang jarang tersenyum, tiba-tiba membuatku ingin mengetahui lebih banyak tentangmu. Ada sesuatu yang dalam yang menyelimuti dirimu, yang mungkin tidak akan pernah aku temukan di dunia pesta yang selalu aku cintai.

“Aku… nggak tahu harus berkata apa,” kataku, merasa tak nyaman dengan kenyataan bahwa aku malah lebih canggung denganmu daripada dengan orang-orang lain di pesta ini.

Kamu menatapku, dan untuk pertama kalinya, matamu terlihat sedikit lebih lembut. “Gak masalah,” jawabmu pelan. “Aku cuma pengen ngungkapin aja… bahwa aku lebih suka kesunyian daripada kebisingan.”

Aku mengangguk perlahan, dan untuk pertama kalinya dalam malam itu, suasana terasa lebih tenang. Tanpa suara musik yang memekakkan, tanpa tawa yang berlebihan. Hanya ada kamu dan aku, berbicara dalam keheningan yang terjalin begitu dalam.

Malam itu berakhir dengan aku mengantarmu pulang. Tidak ada pelukan atau janji untuk bertemu lagi. Hanya kata-kata sederhana, “Semoga kita bisa ngobrol lebih banyak lain waktu.”

Dan untuk pertama kalinya, aku merasa bahwa di dunia yang penuh pesta ini, ada tempat yang lebih sunyi, lebih dalam, tempat di mana aku bisa menemukan hal-hal yang tidak bisa aku temukan di tengah riuhnya dunia malam.

Cerpen Yasmine, Gadis Super Stylish

Sebuah hari yang cerah di awal musim panas. Pagi itu, aku terbangun dengan semangat yang luar biasa. Menatap cermin, aku melihat diriku—seorang gadis muda yang ceria, penuh percaya diri, dan selalu berusaha tampil stylish. Namaku Yasmine. Mungkin terdengar seperti nama yang terlalu manis untuk seorang gadis muda sepertiku, tapi entah kenapa, aku merasa nama itu sesuai dengan diriku. Aku selalu berusaha memberikan yang terbaik dalam setiap hal, termasuk dalam penampilanku.

Sekolah masih beberapa jam lagi, tapi aku sudah siap dengan tatanan rambut yang sempurna, gaun ringan berwarna pastel, dan sepatu putih yang selalu membuat langkahku terasa ringan. Aku tahu, semua teman-teman sekelas pasti menantikan kehadiranku, karena aku selalu membawa aura positif. Banyak yang bilang aku itu gadis yang menyenangkan, selalu bisa membuat semua orang tertawa dan lupa pada masalah mereka. Aku punya banyak teman—mereka adalah bagian dari dunia cerahku, dunia yang selalu dipenuhi tawa dan kebahagiaan.

Namun, di antara segala tawa itu, aku sadar ada satu hal yang selalu membuatku merasa kurang. Ya, aku dikelilingi banyak teman, tapi aku tidak memiliki seorang sahabat yang benar-benar mengerti aku, yang bisa berbicara dengan jujur tanpa ada batasan. Aku ingin seseorang yang bisa mendengarkan ceritaku tanpa rasa canggung, yang bisa bersama-sama mengarungi hidup dengan segala suka dan duka.

Dan entah kenapa, aku merasa hari itu akan menjadi hari yang berbeda.


Ketika aku memasuki gerbang sekolah, suasana seperti biasa: keramaian, obrolan, dan tawa. Namun, di sudut lapangan ada seorang gadis yang tampak berbeda dari yang lain. Aku melihatnya dari kejauhan—seorang gadis dengan rambut hitam panjang yang terurai, mengenakan kaos polos, jeans robek, dan sepatu kets yang tampak sudah lama. Wajahnya terlihat tenang, tapi ada kesedihan yang tersembunyi di balik mata cokelat gelapnya.

Aku merasa sesuatu yang berbeda dalam diriku—rasa penasaran yang mendalam. Kenapa aku merasa gadis itu menarik? Dia berbeda, tak seperti yang lain. Teman-teman sekelasku mungkin akan mengabaikannya, tapi aku merasa ada sesuatu yang menghubungkan kami, meskipun kami belum pernah berbicara.

Saat aku berjalan mendekatinya, gadis itu menoleh ke arahku. Sejenak kami saling berpandangan. Matanya tampak sedikit terkejut, namun tidak ada ketegangan. Aku tersenyum padanya, senyuman ceria yang sudah menjadi kebiasaanku.

“Hey, kamu baru ya?” tanyaku, meski aku sudah bisa menebak jawabannya. Dia hanya mengangguk pelan.

“Iya, aku baru pindah sekolah. Namaku Bella,” jawabnya dengan suara rendah, hampir seperti bisikan.

“Aku Yasmine,” kataku sambil mengulurkan tangan. “Boleh aku duduk di sini?”

Dia terlihat ragu sejenak, namun akhirnya mengangguk dan memberi izin. Aku duduk di sebelahnya, dan kami mulai berbicara sedikit demi sedikit. Kami bercerita tentang sekolah, tentang hobi, dan sedikit tentang hidup masing-masing. Tapi yang paling membuatku tertarik adalah saat dia menceritakan tentang dirinya sendiri.

Bella bercerita bahwa dia baru saja pindah dari kota lain, karena keluarganya mengalami banyak kesulitan. Orang tuanya bercerai, dan dia harus beradaptasi dengan banyak hal baru—termasuk sekolah baru ini. Aku bisa merasakan ada rasa kesepian dalam suaranya, meskipun dia berusaha menutupi itu.

“Aku tidak punya banyak teman,” katanya pelan. “Mereka semua sepertinya sibuk dengan dunia mereka sendiri.”

Aku melihat ke matanya, dan tiba-tiba aku merasa ingin melindunginya. Bagaimana bisa ada seseorang seperti Bella yang merasa begitu sendirian di dunia yang ramai ini? Aku tahu, aku bisa menjadi teman untuknya. Aku bisa menjadi seseorang yang bisa dia percayai, seseorang yang bisa mengisi kekosongan yang ada di hatinya.

Dan saat itu, aku merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar simpati. Mungkin ini yang disebut dengan perasaan yang tidak bisa dijelaskan, seperti ada sesuatu yang menghubungkan dua jiwa yang sedang terluka. Sesuatu yang bahkan lebih kuat dari sekadar kebetulan.

“Jangan khawatir, Bella. Kamu nggak sendirian lagi,” kataku dengan percaya diri, meskipun hatiku juga sedikit cemas. “Aku akan selalu ada untuk kamu. Kalau kamu butuh teman, kamu sudah menemukannya.”

Dia menatapku lama, dan untuk pertama kalinya aku melihat matanya yang penuh rasa haru. Ada sesuatu yang dalam di sana—sesuatu yang aku tidak bisa definisikan, namun bisa aku rasakan. Mungkin, ini adalah awal dari sebuah kisah persahabatan yang tidak akan mudah terlupakan.

Di situlah aku menyadari, bahwa dalam hidup, terkadang kita mencari sahabat dalam bentuk yang kita inginkan, yang kita anggap sesuai dengan dunia kita. Namun, terkadang sahabat sejati datang dalam bentuk yang paling tak terduga, seseorang yang mungkin berbeda, namun justru itulah yang membuat ikatan kita semakin kuat. Bella, dengan segala kesedihan dan kekurangannya, adalah sahabat kecil yang aku cari selama ini—seseorang yang bisa melengkapi dunia cerahku yang penuh tawa dengan warna yang lebih mendalam.

Dan dengan itu, dimulailah kisah antara aku dan Bella. Sebuah kisah persahabatan yang penuh dengan tawa, air mata, dan segala cerita yang akan mengisi hari-hari kami. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tapi aku tahu satu hal: Aku akan selalu berjuang untuk menjaga hubungan ini, meskipun dunia di sekitar kami bisa berubah kapan saja.

Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa ada seseorang yang akan selalu ada di sampingku, bukan hanya sebagai teman, tapi juga sebagai sahabat yang akan aku jaga dan cintai.

Artikel Terbaru

Tulis Komentar Anda

Your email address will not be published. Required fields are marked *