Daftar Isi
Apa yang akan terjadi jika keberanian dan tekad bertemu dalam perjalanan menuju kebahagiaan? Mari kita simak kisah seorang gadis yang berani menantang takdir.
Cerpen Karin, Gadis Paling Hits di Kota
Aku masih ingat, hari itu cuaca sangat cerah. Matahari tampak begitu hangat, namun aku tak bisa menikmati sinarnya sepenuhnya. Sebagai seorang gadis paling hits di kota, dunia sepertinya terbuka begitu luas untukku, namun hatiku merasa hampa. Di luar, orang-orang mengenalku sebagai Karin—gadis ceria yang selalu dikelilingi teman-teman. Tapi dalam hatiku, ada ruang kosong yang tak pernah bisa terisi oleh sorakan atau pujian. Mungkin ini aneh, mengingat banyak yang menganggap hidupku sempurna. Tapi, siapa yang tahu? Terkadang, berada di pusat perhatian justru membuat kita merasa sangat kesepian.
Hari itu, seperti biasa, rumahku ramai dengan suara tawa dan obrolan teman-teman. Aku sedang duduk di ruang tamu besar dengan segelas jus mangga di tangan. Tawa teman-teman membuatku merasa nyaman, meski hatiku masih merasa ada yang hilang. Teman-temanku selalu datang dan pergi. Setiap hari, ada saja orang baru yang ingin menjadi bagian dari dunia sosialku. Namun, mereka hanya tahu sisi luar dari diriku. Tak ada yang benar-benar melihat apa yang ada di dalam hatiku.
Tiba-tiba, pintu depan terbuka. Seorang gadis yang tidak aku kenal masuk, mengenakan kaos lengan panjang dengan gambar kartun dan jeans robek di lutut. Rambutnya pendek, hitam legam, dan tampaknya tak terlalu peduli dengan penampilan. Matanya berkilau penuh semangat, namun wajahnya tenang. Dia tampak berbeda dari kebanyakan orang yang datang ke rumahku.
“Hei, Karin! Ini teman baru dari sekolah! Namanya Hana,” suara Sarah, teman baikku yang sering datang ke rumahku, menyambutnya dengan riang.
Aku mengangguk pelan, tersenyum secukupnya, dan memberi isyarat pada Hana untuk duduk di sofa. Namun, yang aku rasakan saat itu bukan sekadar sekilas rasa penasaran, melainkan sesuatu yang lebih dalam. Seperti ada sesuatu dalam diri Hana yang mengingatkanku pada diriku sendiri—sebelum aku menjadi Karin yang banyak dikenal orang.
Hana hanya mengangguk, lalu duduk di pojok sofa yang cukup jauh dariku. Tidak ada obrolan berat, hanya percakapan ringan yang terdengar di sekeliling kami. Sesekali aku melihat ke arahnya. Hana terlihat tenang, tidak tergesa-gesa seperti kebanyakan orang yang datang ke rumahku. Sepertinya dia tidak butuh perhatian lebih, tidak berusaha untuk menonjol.
Aku penasaran, kenapa gadis ini bisa begitu tenang di tengah keramaian ini? Bukankah aku pernah merasa seperti itu, dulu? Gadis yang hanya ingin menjadi diri sendiri tanpa terbebani oleh ekspektasi orang lain?
Ketika teman-teman yang lain mulai bersiap-siap untuk pergi, aku mendekati Hana yang sedang duduk sendiri di sofa. Di luar, angin mulai berhembus lembut, menandakan senja akan segera tiba.
“Hana,” aku memulai, suara ku pelan, seolah hati ini tidak ingin terbuka terlalu banyak. “Kenapa kamu tiba-tiba datang ke sini? Aku jarang lihat kamu nongkrong bareng teman-teman lain, kamu baru di sini kan?”
Hana menatapku dengan tatapan yang agak bingung, seakan tidak sepenuhnya paham mengapa aku bertanya. Tapi, ia akhirnya tersenyum kecil dan mengangguk pelan. “Iya, baru banget pindah ke kota ini. Sebenarnya aku lebih suka di rumah, sih. Kadang-kadang bingung aja harus ngomong apa sama orang-orang di luar sana.”
Kata-katanya seperti menyentuh hatiku. Rasanya, aku bisa merasakan apa yang Hana rasakan. Tidak semua orang bisa nyaman dengan dunia yang penuh dengan ekspektasi dan sorotan. Tiba-tiba aku merasa ingin mengenalnya lebih dalam, ingin tahu apa yang sebenarnya ada di balik kesunyian matanya.
Aku duduk di sebelahnya, agak canggung, mencoba membuka percakapan. “Kamu nggak suka nongkrong di luar ya? Gimana sih, jadi orang baru di kota yang ramai gini? Aku kira pasti seru, kan?” Aku mencoba membuat suasana lebih ringan.
Hana memandangi aku sejenak, lalu menghela napas. “Seru sih… tapi aku nggak merasa cocok, gitu. Kadang… aku lebih suka sendiri. Di rumah. Di tempat yang nggak harus nunjukin siapa aku.”
Aku terdiam mendengar kata-katanya. Ada sesuatu dalam dirinya yang menyentuh bagian terdalam dari diriku yang selama ini terpendam. Aku yang selalu merasa terjebak dalam peran yang orang lain buat untukku, seolah hidupku bukan milikku sendiri. Aku merasa aneh, tiba-tiba terhubung dengan seorang gadis yang baru saja aku kenal.
Tak lama, suasana semakin sunyi. Semua teman-temanku sudah pergi, hanya aku dan Hana yang tersisa di ruang tamu yang kosong. Aku menatap ke luar jendela, merasakan angin yang semakin dingin. Lalu, aku berkata pelan, “Aku juga sering merasa seperti itu. Terkadang, aku cuma ingin bersembunyi di rumah, jauh dari semua yang ada di luar sana. Aku merasa orang-orang hanya melihat sisi luar diriku saja.”
Hana tersenyum lembut. “Tapi kamu bisa berubah, kan? Kamu bisa jadi diri sendiri meski dunia di sekitar kamu berbeda. Aku… cuma nggak mau terlalu banyak ikut campur dalam hidup orang lain. Lebih nyaman kalau aku nggak terlalu banyak bicara.”
Aku tersenyum kecil. Ternyata, perasaan kami tak jauh berbeda. Meski berbeda dalam banyak hal—aku dengan statusku yang selalu dikelilingi orang, Hana dengan dunia kecilnya yang jauh dari sorotan—kami berdua merasa terjebak dalam suatu ekspektasi yang tak pernah kami pilih.
Kehadiran Hana di rumahku, meskipun sederhana, menjadi titik awal dari suatu persahabatan yang tak pernah aku duga. Seseorang yang bisa melihatku lebih dari sekadar gadis ceria dengan banyak teman. Seseorang yang mengingatkanku bahwa kadang, yang kita butuhkan hanyalah seseorang yang bisa duduk di samping kita tanpa meminta lebih dari itu.
Cerpen Lia, Gadis Gaul Kekinian
Aku masih ingat jelas bagaimana semuanya dimulai, meski sudah lama berlalu. Setiap detilnya terasa segar, seperti baru kemarin aku menghadapinya. Kejadian itu terjadi saat aku berusia 17 tahun, saat dunia masih terasa begitu sederhana dan penuh kemungkinan. Aku adalah gadis yang biasa-biasa saja, dengan segudang impian dan harapan tinggi, percaya bahwa hidup ini penuh dengan kebahagiaan. Teman-teman pun datang dan pergi begitu mudah. Mereka adalah bagian dari dunia kecilku yang selalu bergerak cepat. Aku adalah “Lia”, gadis gaul yang selalu punya banyak teman, sering berbagi cerita dan tawa di sekolah, di kafe, atau bahkan di media sosial.
Hari itu, aku berada di rumah seperti biasa, duduk santai di ruang tamu yang terang, menatap layar ponsel. Biasanya, ruang tamu rumah kami adalah tempat di mana keluarga berkumpul, tempat berkumpulnya tawa, dan kadang-kadang, tempat di mana diskusi serius bisa terjadi. Tapi pada hari itu, ruang tamu terasa berbeda. Tidak ada suara tawa. Hanya ada suara ketukan di pintu. Ketukan itu datang begitu pelan, hampir tidak terdengar. Awalnya aku pikir mungkin itu hanya angin yang menyentuh pintu.
Namun, ketukan itu semakin jelas. Penasaran, aku berjalan mendekat dan membuka pintu. Di depan sana, berdiri seorang gadis. Rambut panjangnya yang tergerai tertiup angin, dan matanya terlihat sedikit bingung. Dari penampilannya, dia berbeda dengan teman-temanku yang lain. Tidak seperti kami yang selalu tampil modis dan trendy, dia terlihat lebih simpel, lebih kalem. Pakaian yang dikenakannya sangat sederhana—kaos putih dan jeans longgar, dengan tas ransel yang terlihat sedikit usang. Dari raut wajahnya, aku bisa menebak bahwa dia mungkin bukan orang yang terlalu terbiasa dengan kehidupan sosial yang ramai.
“Saya… Lia?” suaranya terdengar ragu, hampir seperti sebuah pertanyaan. Aku mengangguk pelan, sedikit bingung dengan situasi yang tiba-tiba datang begitu saja.
“Eh, iya, saya Lia. Ada yang bisa saya bantu?” tanyaku dengan senyum yang dipaksakan, meskipun hatiku sedikit bertanya-tanya siapa dia.
Gadis itu tersenyum, tetapi senyumnya tipis dan sedikit cemas. “Namaku Sarah. Aku baru saja pindah ke rumah sebelah,” ujarnya pelan. “Maaf mengganggu, tapi… bisa nggak kita bicara sebentar? Ada sesuatu yang ingin aku tanyakan.”
Aku menatapnya sejenak. Ada sesuatu yang aneh dalam cara dia berbicara, seperti ada beban yang tak terucapkan. Sementara di sisi lain, rasa ingin tahu mulai merayap dalam pikiranku. “Tentu, ayo masuk,” jawabku, membuka pintu lebih lebar.
Kami duduk di sofa ruang tamu. Aku tidak tahu kenapa, tetapi aku merasa ada sesuatu yang spesial tentang dia, meskipun dia terkesan sangat berbeda dari kebanyakan orang yang biasa aku temui. Tak ada hal besar yang bisa kurasakan selain rasa penasaran yang mendalam. Tidak lama, dia mulai bercerita.
“Aku cuma nggak tahu harus kemana lagi,” katanya, suaranya sedikit bergetar. “Aku baru saja pindah ke sini, dan… rasanya semuanya begitu asing. Teman-teman di sekolah baru, lingkungan yang baru. Semuanya terasa berat.”
Aku hanya bisa diam, mendengarkan. Ada keheningan yang berat di udara, dan aku bisa merasakan betapa dalamnya perasaan yang sedang dia alami. Sepertinya, dia bukan hanya sekadar gadis pendatang baru, dia adalah seseorang yang sedang berjuang dengan dirinya sendiri, mencari tempat di dunia ini yang terasa begitu asing. Aku bisa melihat betapa besar keraguan dalam matanya, seolah-olah dia tak tahu harus mulai dari mana untuk mencari kebahagiaan.
“Aku merasa seperti aku nggak belong di sini, Lia. Semua orang tampak begitu berbeda. Mereka terlihat bahagia, tapi aku nggak bisa merasa seperti itu,” katanya dengan suara rendah, hampir seperti bisikan.
Aku merasa sesuatu yang menyentuh hatiku. Meskipun dunia kami sangat berbeda—aku yang selalu berada di tengah keramaian, dikelilingi teman-teman dan tawa—aku tahu apa rasanya merasa kesepian. Aku juga pernah merasakannya. Bahkan di tengah keramaian, ada kalanya aku merasa kosong dan terasing.
Aku menatap Sarah dengan lebih dalam, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk menghiburnya. “Kadang-kadang, memang hidup nggak selalu mudah, kan? Tapi itu nggak berarti kamu nggak punya tempat di sini. Semua orang, termasuk kamu, punya ruangnya masing-masing. Kadang kita hanya perlu waktu untuk menemukan itu,” jawabku dengan suara yang lebih lembut.
Sarah terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. “Aku… aku cuma merasa takut. Takut nggak diterima. Takut kalau orang-orang nggak suka sama aku.”
Aku tersenyum, meskipun aku tahu bahwa kata-kata itu tak pernah cukup untuk menghapus semua rasa takut dan keraguan. Tapi aku juga tahu, hanya dengan mendengarkan, dia mungkin bisa sedikit merasa lebih baik. “Gak usah takut. Semua orang punya kekurangan dan kelebihan masing-masing. Kamu hanya perlu menjadi dirimu sendiri. Kalau kamu merasa nyaman dengan siapa dirimu, orang lain juga pasti bisa merasakannya.”
Sarah menatapku dengan mata yang sedikit berkaca-kaca. “Makasih, Lia. Aku rasa aku nggak sendirian di sini lagi.”
Kami berbicara beberapa saat lagi. Lama kelamaan, pembicaraan itu menjadi lebih ringan. Aku bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang mulai menghubungkan kami, meski awalnya aku tidak mengerti apa itu. Ada ikatan yang mulai terjalin di antara kami, ikatan yang mungkin tidak akan pernah aku duga sebelumnya.
Hari itu menjadi titik awal dari sebuah persahabatan yang tak terduga. Seiring berjalannya waktu, aku mulai mengenal Sarah lebih dalam, dan ternyata dia adalah gadis yang sangat kuat, meskipun sering kali terlihat rapuh. Keberanian yang dia tunjukkan untuk membuka diri, meski di tengah rasa takutnya, membuatku semakin menghargainya. Kami pun mulai menghabiskan waktu bersama—berjalan-jalan di sekitar lingkungan, berbicara tentang mimpi dan harapan, serta saling berbagi cerita. Aku merasa, dalam cara yang aneh, kami saling mengisi ruang kosong dalam hidup masing-masing.
Aku tahu, persahabatan ini akan menjadi sesuatu yang besar. Sesuatu yang penuh warna dan penuh perasaan—meski kadang-kadang, kami akan menghadapi hal-hal yang tak terduga. Tapi itu adalah bagian dari perjalanan, dan aku siap untuk melangkah bersama Sarah.
Cerpen Mila, Si Penggila Selfie
Sejujurnya, aku tak pernah berpikir akan bertemu dengan seseorang yang bisa mengubah cara pandangku tentang persahabatan. Seperti kebanyakan anak muda di zaman sekarang, aku adalah gadis yang selalu memegang ponsel di tangan—terutama untuk selfie. Aku tahu, mungkin terdengar klise, tapi begitulah aku. Mila—si penggila selfie, seperti yang sering mereka sebut.
Aku bisa menghabiskan berjam-jam di depan cermin, bereksperimen dengan berbagai angle dan filter. Terkadang, aku merasa seperti hidupku lebih nyata dalam gambar ketimbang dalam kenyataan. Dunia maya menawarkan rasa diterima, yang kadang sulit kudapatkan di dunia nyata. Aku tidak punya masalah dengan teman-teman, tapi ada kalanya aku merasa lebih terhubung dengan mereka yang hanya tahu aku dari gambar-gambar yang kurilis. Aku menganggapnya sebagai pelarian.
Suatu hari, saat aku sedang asyik memotret wajahku dengan latar belakang rumah, tiba-tiba terdengar suara ketukan halus di pintu. Aku membuka pintu dengan sedikit kesal karena terpaksa harus meninggalkan sejenak dunia selfie yang kutinggalkan begitu saja di layar ponselku. Di depan pintu, berdiri seorang wanita muda, dengan senyum ramah yang menyenangkan. Rambutnya tergerai panjang, dan matanya berbinar seperti cahaya matahari yang baru saja menembus awan kelabu.
“Apa kamu Mila?” tanyanya, suara lembut namun tegas.
Aku mengangguk sedikit bingung, tidak tahu apakah dia mencari seseorang yang tepat. “Ya, saya Mila. Ada apa ya?”
Dia tersenyum lebih lebar. “Aku Sarah, teman sebelah rumah. Baru pindah ke sini. Mungkin kita bisa kenalan, atau… kalau kamu lagi sibuk, nggak apa-apa sih.”
Aku tertegun, agak terkejut. Sebagian dari diriku merasa canggung. Tidak ada yang spesial dengan pertemuan seperti ini. Aku memang tidak bisa menolak orang, dan wajah ramahnya itu membuatku merasa sedikit bersalah jika menolaknya. Namun, aku juga tidak tahu harus berbuat apa. Apakah aku akan melupakan dunia selfieku yang nyaman dan memperhatikan orang asing ini?
“Ah, iya, tentu saja,” jawabku, berusaha terlihat ramah meski hatiku agak kikuk. “Masuk, Sarah. Kamu mau minum apa?”
Sarah duduk di sofa dengan santai, seolah sudah cukup lama mengenalku. Aku bisa merasakan aura percaya dirinya yang membuatku sedikit kikuk. Aku merasa seolah baru pertama kali berinteraksi dengan seseorang di luar dunia maya—padahal ini nyata, di dunia yang sama sekali berbeda. Di dunia nyata, tidak ada filter, tidak ada caption, hanya obrolan yang mengalir begitu saja. Kami berdua duduk di ruang tamu yang terasa hening, seakan kami sedang menunggu sesuatu.
“Jadi,” kata Sarah, memecah keheningan. “Aku dengar kamu suka selfie. Aku juga sih, tapi nggak se-antusias kamu kayaknya.”
Aku terkekeh, merasa agak canggung. “Iya, aku memang suka selfie. Sepertinya itu sudah jadi kebiasaan. Aku merasa lebih hidup dalam foto-foto itu.”
Sarah tersenyum, seolah memahami. “Aku bisa paham. Foto memang bisa mengabadikan momen, tapi… kadang aku berpikir, kalau terlalu sering terjebak dalam gambar, kita malah lupa menikmati waktu yang benar-benar terjadi di depan mata.”
Kata-katanya itu menusuk jauh ke dalam hatiku, menimbulkan perasaan yang tidak pernah kucoba untuk kenali sebelumnya. Seolah ada ruang kosong yang tiba-tiba terisi. Aku tidak pernah memikirkan hal itu. Aku hanya terbiasa melihat segala sesuatunya lewat layar, dengan filter yang indah, tanpa menyadari bahwa ada banyak hal berharga di luar sana yang harus dihadapi.
“Sar,” kataku setelah sejenak terdiam, “kadang aku merasa lebih nyaman dengan selfie daripada berhadapan langsung dengan orang lain. Entahlah, mungkin itu cara aku melarikan diri.”
Sarah menatapku dengan tatapan penuh pengertian. “Aku mengerti, Mila. Tapi aku percaya, kamu nggak harus lari. Kadang-kadang, orang-orang di sekitar kita itu bisa jadi bagian dari cerita yang lebih indah. Kita hanya perlu membuka diri.”
Aku terdiam, kalimat Sarah terus bergema di pikiranku. Aku merasa seperti dia baru saja membuka pintu menuju dunia lain yang selama ini kuabaikan. Sebuah dunia yang tidak terbuat dari gambar-gambar sempurna, tapi dari perasaan dan momen yang nyata.
Saat dia pamit pulang, aku merasa ada sesuatu yang tertinggal—seperti ada benang tipis yang menghubungkan kami berdua, meskipun pertemuan pertama itu terasa sederhana. Ada rasa ingin tahu yang baru tumbuh dalam diriku. Apa yang sebenarnya aku cari? Apakah aku benar-benar bahagia dengan dunia selfieku, atau adakah lebih banyak hal indah yang bisa kurasakan dengan menyentuh dunia nyata?
Entah kenapa, aku merasa seperti pertemuan itu bukanlah kebetulan. Aku mulai berpikir bahwa mungkin, dunia nyata yang selama ini aku hindari, bisa menawarkan sesuatu yang lebih daripada sekadar filter atau caption indah. Mungkin, hanya mungkin, aku bisa belajar untuk membuka diri.
Hari itu aku merasa bingung, tetapi juga ada rasa hangat yang tiba-tiba memenuhi dada. Ada sesuatu tentang Sarah yang membuatku ingin tahu lebih banyak. Mungkin ini adalah awal dari sebuah persahabatan yang akan mengubah hidupku.