Daftar Isi
Hai, teman-teman! Hari ini, kita akan mengikuti kisah seorang gadis yang tidak takut untuk berlari mengejar kebahagiaan, meski jalan yang harus ditempuh penuh liku dan tantangan.
Cerpen Vina, Gadis Gaul Masa Kini
Aku masih ingat dengan jelas bagaimana semuanya dimulai. Mungkin, saat itu, dunia seakan berputar lebih lambat. Setiap detiknya terasa begitu penuh makna, seperti sebuah awal dari sebuah cerita yang tak aku duga. Dan, siapa sangka, hari itu akan membawa kita ke tempat yang bahkan aku tak pernah bayangkan sebelumnya.
Hari pertama masuk SMA. Semua orang pasti merasa gugup, kan? Termasuk aku. Tapi tidak, aku bukan tipe yang mudah panik. Aku justru merasa sangat bersemangat. Lagipula, SMA adalah dunia baru, dan aku sudah siap menjelajahi segala sesuatu yang bisa aku temui. Aku punya teman-teman dari SMP yang juga masuk sekolah yang sama. Kami sudah berjanji untuk selalu bersama, seperti dulu. Aku Vina, si gadis gaul yang terkenal dengan senyum lebar dan rasa percaya diri yang hampir selalu tampak jelas.
Namun, satu hal yang pasti, aku merasa ada sesuatu yang berbeda pada hari itu. Mungkin, karena di hari pertama ini, aku bisa melihat wajah-wajah baru yang menarik. Ada si Dian, teman sekelas yang selalu terlihat serius, ada Aulia yang sibuk dengan ponselnya, dan juga si Dita yang selalu punya candaan yang bisa bikin orang tertawa. Semua tampak biasa, sampai aku melihatnya.
Dia duduk sendirian di sudut belakang kelas, dengan buku catatan yang terbuka di depannya, namun matanya lebih banyak memandang keluar jendela. Rambut panjangnya tergerai rapi, dan aku bisa melihat ada sesuatu yang berbeda pada dirinya. Terkesan pendiam, tapi ada aura yang menarik perhatian. Namanya Sarah. Dia satu kelas denganku, tapi kami belum pernah benar-benar berbicara. Mungkin karena aku lebih sering menghabiskan waktu dengan teman-teman sekelilingku yang sudah aku kenal lama.
Pada awalnya, aku tak terlalu peduli dengan Sarah. Aku lebih fokus pada obrolan yang seru bersama teman-teman di sekitarku. Tapi tiba-tiba, ada kejadian yang membuat aku tak bisa mengalihkan pandanganku darinya.
Suatu hari di jam istirahat, aku berjalan menuju kantin bersama Aulia dan Dita. Tiba-tiba, aku terhenti ketika melihat Sarah, yang tengah duduk di bangku depan kantin, dengan pandangan kosong menatap ke arah kerumunan orang. Tiba-tiba, dia menatapku. Aku merasa ada yang aneh, seakan dia tahu bahwa aku sedang memperhatikannya. Lalu dia tersenyum tipis. Senyum yang tidak aku duga, seperti ada cerita yang terkubur dalam senyum itu, yang entah kenapa membuatku merasa penasaran.
Hari itu, aku mulai lebih memperhatikannya.
Di kelas berikutnya, pelajaran Bahasa Indonesia, aku duduk di bangku yang berdekatan dengan Sarah. Aku sengaja mendekat, berusaha berbicara sedikit demi sedikit, tapi Sarah hanya menjawab dengan singkat, seakan enggan membuka percakapan. Aku penasaran, tapi tak ingin memaksa. Jadi, aku mencoba berbicara tentang hal-hal yang umum saja, seperti tugas, pelajaran, dan segala hal yang bisa jadi pembicaraan ringan. Namun, setiap kali aku bertanya lebih dalam, Sarah hanya memberikan jawaban yang datar.
Tapi ada sesuatu dalam dirinya yang selalu membuatku tertarik, meskipun dia tak banyak bicara. Ada ketenangan dalam dirinya yang aku rasa bisa kuambil untuk diriku sendiri. Bukan seperti aku yang selalu riuh, bergaul dengan banyak orang, selalu dikelilingi teman-teman. Sarah sangat berbeda. Dia lebih sering menghabiskan waktu sendirian, tapi cara dia membawa dirinya begitu tenang, seakan dia tak membutuhkan siapa pun untuk merasa lengkap.
Di satu kesempatan, saat bel masuk untuk pulang sekolah sudah terdengar, aku melangkah menuju pintu dengan perasaan yang sedikit tak tenang. Aku sudah berjalan hampir ke luar ketika tiba-tiba, aku mendengar suara langkah kaki di belakangku. Aku menoleh dan melihat Sarah berjalan tergesa-gesa.
“Vina, tunggu!” katanya dengan suara pelan, hampir seperti bisikan. Aku terkejut mendengarnya.
Aku berhenti, menatapnya dengan bingung. “Ada apa, Sarah?”
Dia tampak ragu sejenak, namun akhirnya berkata, “Aku… sebenarnya butuh bantuan. Untuk tugas Sejarah besok. Bisa kita… belajar bareng?”
Aku terkesiap. Sarah, si gadis yang selalu terlihat sendirian dan lebih suka menyendiri, ternyata meminta bantuanku? Aneh rasanya. Selama ini aku selalu menganggap dia sebagai orang yang cukup tertutup, dan entah kenapa, aku merasa ada yang berbeda dalam cara dia berbicara padaku saat itu. Mungkin karena aku tahu, bagi Sarah, membuka diri bukanlah hal yang mudah.
“Ya, tentu saja!” jawabku cepat, tak ingin mengecewakannya. Aku merasa sedikit senang karena akhirnya dia bisa membuka dirinya sedikit saja. Dan saat itu, aku tak tahu kalau pertemuan itu adalah awal dari perjalanan yang akan mengubah segalanya dalam hidupku.
Malam itu, aku pulang dengan perasaan campur aduk. Satu hal yang aku tahu pasti, pertemuan singkat dengan Sarah itu bukan hanya tentang tugas Sejarah semata. Ada sesuatu yang lebih besar yang sedang dimulai, dan aku merasa, aku akan belajar banyak dari gadis itu. Kami memang berbeda, namun entah kenapa, hatiku mulai merasakan ikatan yang tak bisa aku jelaskan.
Setiap hari setelahnya, aku dan Sarah mulai sering menghabiskan waktu bersama. Dari belajar bersama hingga sekadar duduk di taman sekolah, kami berbagi cerita. Aku mulai tahu bahwa Sarah bukanlah gadis yang dingin atau sulit didekati. Dia hanya membutuhkan waktu untuk percaya pada orang lain. Dan, aku… entah kenapa, merasa menjadi orang yang tepat untuk membuka dunia Sarah yang tersembunyi.
Namun, ada satu hal yang membuatku tak bisa menahan rasa penasaran itu. Kenapa dia selalu terlihat sedikit sedih, meskipun senyum tipis selalu terukir di wajahnya? Ada luka yang tersembunyi di balik mata indahnya itu, dan aku bertekad untuk mencari tahu apa yang sebenarnya sedang Sarah sembunyikan. Aku tahu, suatu saat nanti, aku akan menemukan jawabannya.
Cerpen Winda, Gadis Fashion Forward
Aku masih ingat dengan jelas, hari pertama aku melangkah masuk ke sekolah ini, seperti baru kemarin rasanya. Ada rasa berdebar di dadaku, campuran antara antusiasme dan ketegangan yang tak terungkapkan. Aku memang suka bergaul, dan biasanya mudah menjalin persahabatan dengan siapa saja, tapi kali ini ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang terasa lebih pribadi, lebih dalam.
Sekolah ini, SMA Negeri 12, bukanlah tempat yang asing bagiku. Aku sudah mendengar banyak cerita tentangnya, terutama tentang kelas yang penuh dengan anak-anak pintar, dan tentu saja—penuh dengan drama. Tapi ada sesuatu yang membuatku merasa senang bisa akhirnya masuk ke sini. Aku merasa bisa menunjukkan sisi diriku yang berbeda, sisi yang selama ini jarang sekali terlihat. Dunia di luar sana, yang penuh dengan tren fashion, dunia yang aku cintai.
Aku bukan gadis yang suka terlihat biasa. Sejak dulu, aku sudah terbiasa memilih pakaian yang tak hanya nyaman, tetapi juga bisa mengekspresikan siapa aku. Terutama sejak aku mengenal dunia fashion lewat internet, aku jadi semakin berani bereksperimen dengan warna, potongan, dan gaya. Aku suka mencampur-campur pola, menjadikan fashion sebagai sarana berbicara tanpa kata. Semua orang sering bilang, aku ini ‘fashion forward’. Bukan untuk pamer, tapi hanya ingin menunjukkan sisi unik diriku yang lain, sisi yang penuh dengan warna dan cerita.
Hari itu, aku mengenakan jaket denim oversize dengan sedikit patch berwarna neon, celana kulot putih dengan sneakers tinggi, dan tas kecil berbentuk hati yang membuat setiap mata pasti tertuju padaku. Aku rasa, penampilanku cukup menggambarkan siapa aku—penuh semangat dan berani beda.
Di hari pertama itu, aku berjalan menyusuri lorong-lorong kelas dengan perasaan campur aduk. Sambil tersenyum pada teman-teman baru yang aku temui di jalan, aku merasa sangat percaya diri, merasa seperti bisa menghadapi apa saja. Namun, di antara keramaian, ada satu orang yang menarik perhatianku.
Dia duduk sendirian di salah satu sudut kantin. Rambutnya panjang, hitam berkilau, dan dia mengenakan seragam yang rapi, tanpa tambahan aksesoris apapun. Mungkin jika dilihat sepintas, dia terlihat biasa saja—hanya seorang gadis dengan wajah polos dan tampak pendiam. Namun ada sesuatu dalam dirinya yang memanggilku, sesuatu yang mengingatkanku pada kenangan masa kecil, ketika aku dulu sempat merasa cemas dan takut berada di tengah keramaian. Aku penasaran, siapa dia? Apa yang membuatnya begitu berbeda dari yang lain?
Penasaran, aku berjalan mendekat. Entah kenapa, aku merasa ingin mengenalnya lebih jauh. Aku duduk di meja yang terletak persis di depan tempat dia duduk, sambil tetap mencuri pandang. Beberapa menit berlalu, dan dia sepertinya tak menyadari kehadiranku. Lalu, tanpa bisa menahan diri, aku berkata dengan suara yang agak bersemangat, “Hei, kamu baru di sini?”
Dia menoleh, kaget sejenak, tapi kemudian tersenyum tipis. “Iya, baru pindah sekolah.” Jawabnya pelan, namun ada ketenangan dalam suaranya. Aku bisa merasakan ada sesuatu yang tersembunyi di balik senyum itu, sesuatu yang ingin dia katakan namun sulit untuk diungkapkan.
Aku tersenyum kembali, merasa sedikit canggung. “Aku Winda,” kataku, memperkenalkan diri. “Kamu?”
Dia terdiam beberapa saat, seolah berpikir sejenak sebelum akhirnya menjawab dengan pelan, “Lia.”
Itu adalah kata pertama yang keluar dari bibir Lia. Nama itu terasa sederhana, tapi entah kenapa, aku merasa ada suatu kedalaman dalam suara itu. Aku bisa melihat sedikit ketegangan di matanya, seperti ada hal yang masih dia simpan.
Percakapan kami berlanjut dengan canggung. Aku bercerita tentang diriku, tentang sekolah ini yang cukup ramai dan penuh dengan anak-anak yang aktif. Sementara itu, Lia hanya mendengarkan, sesekali tersenyum atau mengangguk. Aku tahu dia bukan tipe yang mudah berbicara, tapi entah kenapa, aku merasa nyaman berada di dekatnya. Ada ketenangan dalam kehadirannya yang bisa menenangkan dunia yang penuh dengan kebisingan ini.
Hari pertama berlalu begitu cepat. Aku terkejut, tidak merasa lelah sama sekali, meskipun hari itu penuh dengan orientasi dan pengenalan. Namun, saat bel pulang berbunyi, aku tidak bisa mengusir perasaan yang aneh. Aku merasa seperti ada sesuatu yang belum selesai, ada sebuah pertanyaan yang tak terjawab, dan aku ingin mengenal Lia lebih jauh.
Keesokan harinya, aku kembali melihat Lia di kantin, duduk sendirian seperti kemarin. Aku mendekat lagi, kali ini tanpa rasa canggung sedikitpun. “Ayo gabung dengan aku,” kataku sambil menarik kursi dan duduk di sampingnya. Lia sempat terkejut, namun dia akhirnya mengangguk perlahan.
“Apa kamu selalu duduk sendiri?” tanyaku, penasaran.
Lia memandangku sebentar, lalu tersenyum, meski senyum itu terasa sedikit pahit. “Terkadang,” jawabnya pelan. “Aku lebih suka sendirian.”
Aku mengangguk, berusaha memahami. Tapi di dalam hati, aku merasa ada sebuah luka yang belum sembuh di dalam dirinya. Sebuah kesedihan yang tidak bisa dia ungkapkan begitu saja.
Sejak saat itu, kami mulai menghabiskan lebih banyak waktu bersama. Setiap hari aku duduk di sampingnya, berbicara, tertawa, meskipun dia sering kali hanya mendengarkan. Aku merasa, ada sesuatu yang sedang tumbuh di antara kami, meskipun tak pernah terucapkan dengan kata-kata.
Lia adalah gadis yang misterius, tapi aku tahu, meskipun dia tak berbicara banyak, dia memiliki dunia yang kaya di dalam dirinya—dunia yang lebih rumit dari yang bisa aku bayangkan. Di balik diamnya, ada banyak hal yang ingin dia katakan, dan aku bertekad untuk menunggu sampai dia siap membuka diri.
Tapi untuk saat itu, aku tahu satu hal pasti—ini adalah awal yang baru. Awal dari sebuah persahabatan yang tak terduga, dan mungkin, lebih dari itu.
Karena kadang, pertemuan pertama tidak selalu datang dengan kata-kata manis, tapi dengan keheningan yang menyimpan ribuan cerita.
Cerpen Xena, Si Trendsetter Sekolah
Sore itu, langit sekolah kami terlihat begitu cerah, dengan cahaya matahari yang perlahan mulai meredup. Angin berhembus pelan, membawa aroma bunga dari taman belakang sekolah. Seperti biasa, aku berjalan dengan langkah ringan, menyapa teman-teman yang berlarian di lapangan, menuju kantin yang sudah mulai ramai. Aku adalah Xena, gadis yang selalu bisa tertawa lepas, yang setiap harinya selalu dikelilingi oleh teman-teman, dan selalu jadi pusat perhatian.
Jujur, aku senang dengan perhatian itu. Aku merasa seperti seorang ratu kecil di kerajaan SMA yang penuh dengan warna. Aku punya gaya, aku punya pesona. Semua orang mengenal namaku, dan aku tahu persis bagaimana cara membuat orang-orang di sekitarku merasa nyaman. Itulah aku, si gadis trendsetter, yang hidup penuh dengan sorotan. Tapi ada satu hal yang tidak banyak orang tahu tentang aku: meski banyak teman, aku merasa kesepian. Aku selalu menjadi pusat perhatian, namun aku merasa seperti ada dinding yang memisahkanku dari dunia sesungguhnya.
Hari itu, pertemuan itu terjadi. Di kantin yang ramai, aku melihat seorang gadis yang baru—aku tahu dia bukan siswa lama, karena dia tidak seperti yang lain. Dia duduk di pojok meja, menghadap ke jendela, sendirian. Rambut panjangnya yang hitam berkilau sedikit tertiup angin. Dia terlihat begitu tenang di tengah keramaian, seperti tidak terpengaruh dengan hiruk-pikuk kehidupan sekolah yang biasa memadati ruangan ini.
Aku tidak bisa mengalihkan pandanganku darinya. Ada sesuatu yang membuatku merasa tertarik padanya, sesuatu yang tidak aku temui pada gadis-gadis lainnya. Ada keheningan dalam dirinya yang tidak bisa aku jelaskan. Dalam keramaian ini, dia justru seperti mencari ruang untuk dirinya sendiri.
Aku memutuskan untuk mendekatinya.
“Hei, kamu baru di sini ya?” tanyaku dengan suara ceria, mencoba memecahkan keheningan yang mengelilinginya. Aku yakin dia pasti merasa canggung, sama seperti saat pertama kali aku masuk sekolah ini dan menjadi pusat perhatian.
Gadis itu menoleh pelan. Mata cokelatnya yang besar menatapku sejenak, seakan menilai siapa yang sedang mengganggu ketenangannya. Ada kesan dingin di matanya, yang langsung membuatku merasa sedikit canggung. Biasanya, semua orang pasti tersenyum ramah padaku, tapi tidak dia.
“Ya, baru pindah,” jawabnya singkat, suaranya lembut namun terkesan hati-hati. Dia kembali menatap ke luar jendela, seolah mengabaikanku.
Aku tersenyum tipis. Tidak seperti biasanya, aku merasa sedikit tertantang. “Kenapa duduk sendiri? Kalau di sini, kita semua biasanya rame-rame. Kamu bisa duduk bareng aku kalau mau,” tawarku dengan santai, meskipun sebenarnya aku agak bingung dengan reaksinya yang dingin.
Dia mengangkat bahu, tidak menunjukkan ketertarikan yang lebih besar, tapi dia tidak menolak juga. “Tidak apa-apa. Aku lebih suka sendiri,” jawabnya.
Ada keheningan lagi di antara kami, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu, aku merasa tidak nyaman. Biasanya aku selalu bisa mengajak orang lain bercanda atau berbicara, tapi kali ini, aku seperti berbicara dengan tembok. Aku harus memecahkan suasana ini. Sesuatu dalam diriku mendesak untuk terus mencoba.
“Nama aku Xena,” kataku, mencoba lebih personal. “Aku rasa kita bisa jadi teman. Aku bisa tunjukin ke kamu semua yang keren-keren di sini.” Aku memberi senyum lebar, berharap dia bisa melihat sisi ceria dari diriku.
Gadis itu mengangkat wajahnya, dan matanya yang teduh menatapku lagi. “Aku namanya Clara,” jawabnya pelan, kemudian kembali fokus pada mejanya. Tidak ada senyum, tidak ada ekspresi apa-apa. Seketika, aku merasa seperti menghadap dinding yang keras.
Aku berdiri diam sejenak, merasa kebingungan. Aku biasa dikenal sebagai orang yang mudah bergaul, yang selalu bisa membuat suasana jadi lebih ceria. Tapi Clara, gadis ini, seolah menantang diriku untuk mencari cara lain untuk mendekatinya. Mungkin, dia hanya membutuhkan waktu. Mungkin.
Dengan perasaan campur aduk, aku tersenyum lagi, walaupun kali ini lebih kecil. “Oke, Clara. Kalau kamu butuh teman atau ada yang mau dibicarakan, aku ada di sini.” Aku berjalan pergi, tapi entah kenapa aku terus memikirkan Clara sepanjang sisa hari itu. Sejak pertama kali melihatnya, ada sesuatu yang menarik perhatian. Ada ketenangan dalam dirinya yang belum pernah aku temui pada siapa pun.
Hari itu, aku tidak bisa menghapus perasaan aneh yang muncul dalam hatiku. Biasanya, aku tidak akan terlalu memikirkan seorang gadis yang tidak memberi respons. Namun, Clara… Clara berbeda. Dia bukan seperti teman-temanku yang mudah bergaul. Ada misteri di dalam dirinya yang ingin aku temui lebih dalam.
Namun, aku tahu, aku harus lebih sabar. Mungkin pertemuan pertama ini bukanlah segalanya. Mungkin kami akan menjadi teman, atau mungkin tidak. Tapi aku yakin, ada sesuatu yang akan terjadi di antara kami, sesuatu yang tidak akan pernah aku duga.