Daftar Isi
Hai, pembaca yang selalu penasaran! Siapkan dirimu untuk menyelami dunia baru yang penuh dengan kisah menarik dan penuh inspirasi.
Cerpen Stella, Gadis Serba Hits
Setiap orang di sekolah tahu siapa Stella. Dia adalah gadis yang serba hits di SMP kita. Tak pernah ada yang bisa mengabaikan pesonanya—dengan rambut panjang terurai yang selalu tampak terawat sempurna, senyum yang selalu mengembang di bibir, dan penampilan yang selalu up-to-date. Seperti gadis dari dunia lain yang datang dengan penuh cahaya, dan semua orang ingin berada di dekatnya. Termasuk aku, Nia, yang selalu berada di balik bayang-bayangnya.
Aku, yang cenderung pendiam, tak pernah benar-benar memahami mengapa orang-orang begitu mengagumi Stella. Tapi aku tahu, jika ada seseorang yang dapat membuat suasana di sekitar berubah hanya dengan satu senyum, itu adalah Stella. Dia sangat mudah bergaul dengan siapa saja, memiliki banyak teman, selalu menjadi pusat perhatian di setiap acara. Bagi banyak orang, dia adalah definisi sempurna dari kehidupan remaja yang ceria.
Tapi, entah mengapa aku merasa ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang lebih dari sekadar sekilas kebahagiaan yang terlihat dari luar. Aku mulai merasa seperti menatap dunia melalui kaca yang terpisah, hanya bisa mengamati tanpa benar-benar ikut merasakannya. Dan itulah saat aku mulai menyadari keberadaan Stella dalam hidupku.
Pada hari pertama masuk kelas di semester kedua, saat aku sedang duduk di pojokan kelas—seperti biasa, menikmati kedamaian sepi—Stella tiba-tiba duduk di sebelahku. Aku terkejut dan tak bisa menyembunyikan ekspresi bingung di wajahku. Bukankah dia seharusnya duduk bersama teman-teman populer lainnya?
“Hey, Nia,” suara lembut Stella mengalun, memecah keheningan di antara kami. “Kamu sendirian ya? Kenapa nggak gabung sama yang lain?”
Aku tertegun sejenak. “Eh, nggak apa-apa kok, Stella. Aku suka sendiri aja,” jawabku pelan, berharap percakapan ini bisa segera berakhir.
Tapi ternyata, Stella malah tersenyum lebih lebar. “Aku juga suka sendiri kok, kadang-kadang. Tapi… nggak apa-apa, ya, kalau aku duduk di sini? Aku nggak tahu mau kemana lagi.”
Aku terperangah. Sebuah kalimat yang begitu sederhana, tapi entah kenapa terasa sangat… berbeda. Tak seperti yang aku duga sebelumnya. Aku pikir, dengan status sosialnya yang sangat tinggi, Stella tak akan pernah mau terlihat “terjatuh” atau sendirian.
“Aku cuma nggak suka berisik di tempat ramai, gitu,” lanjutnya, mencoba menjelaskan.
Aku mengangguk pelan. “Iya, aku juga gitu,” balasku, agak bingung dengan percakapan ini. Tidak biasanya aku berbicara sebanyak ini.
Sejak saat itu, Stella sering kali duduk di sebelahku. Kami tidak langsung menjadi sahabat. Tidak ada percakapan yang begitu mendalam atau penuh cerita, tetapi ada sesuatu yang terasa berbeda. Stella yang selalu penuh semangat, yang selalu jadi pusat perhatian, seolah-olah memiliki sisi lain yang jarang orang tahu. Aku mulai melihat sisi rapuhnya. Di balik semua keceriaan yang ada, ada kekosongan yang kadang ia sembunyikan. Mungkin itu yang membuatnya begitu nyaman berada di dekatku—seorang gadis yang tidak ingin menghakimi, yang bisa memahami diam tanpa bertanya banyak.
Pada suatu hari yang tak terlupakan, Stella bercerita padaku di jam istirahat. Saat itu, kami berdua duduk di bawah pohon rindang di halaman sekolah, jauh dari keramaian. Ia tampak sedikit lebih serius, wajahnya tak lagi ceria seperti biasa.
“Nia, kamu pernah merasa nggak sih… kalau semakin banyak orang di sekitar kita, justru kita merasa semakin kesepian?” tanya Stella dengan suara pelan.
Aku menoleh padanya, sedikit terkejut dengan pertanyaan yang tak biasa itu. “Maksudnya, kesepian gimana?”
“Yah, maksudku…” Stella menghela napas panjang, matanya menatap jauh ke depan, ke lapangan tempat beberapa teman sekelas bermain bola. “Kadang aku merasa seperti aku nggak punya teman yang benar-benar ngerti aku. Mereka cuma ada karena aku terkenal, karena aku bisa membuat mereka tertawa, atau karena aku ‘seru’ untuk diajak main. Tapi kalau aku butuh seseorang untuk benar-benar mendengarkan, nggak ada siapa-siapa.”
Aku terdiam, tak tahu harus berkata apa. Semua yang Stella katakan terasa begitu dekat dengan diriku. Aku pun merasa kesepian meskipun selalu ada teman di sekitarku. Tapi tak ada satu pun yang benar-benar tahu siapa aku sebenarnya. Aku hanya dipandang sebagai Nia yang pendiam, yang tak menarik untuk dijadikan pusat perhatian.
“Kamu nggak usah khawatir, Stella,” jawabku akhirnya, sedikit canggung. “Aku ngerti kok. Kadang orang cuma melihat kita dari luar, kan? Tapi… kalau kamu butuh seseorang yang bisa dengar, aku selalu ada.” Suaraku hampir hilang di akhir kalimat, merasa malu telah mengatakannya.
Stella menatapku lama, lalu senyum tipis muncul di bibirnya. Senyum yang berbeda—senyum yang lebih hangat dan tulus. “Terima kasih, Nia. Aku… nggak pernah nyangka bakal ngobrol kayak gini sama kamu.”
Aku hanya bisa tersenyum, merasa seolah dunia yang semula terasa asing kini sedikit lebih familiar. Kami bukan lagi dua gadis yang saling memandang dengan jarak. Kini, ada ikatan yang mulai terbentuk—sebuah persahabatan yang tidak bergantung pada popularitas, tetapi pada pemahaman dan kepercayaan.
Di bawah pohon itu, di tengah keramaian sekolah, aku merasa untuk pertama kalinya, aku menemukan seseorang yang bisa mengerti tanpa perlu penjelasan panjang. Stella, gadis serba hits yang selalu ceria itu, ternyata juga punya dunia yang rapuh di dalamnya. Dan aku, Nia, gadis yang biasanya menghindari keramaian, merasa beruntung bisa berbagi dunia itu dengannya.
Cerpen Tania, Gadis Paling Stylish
Namaku Tania. Di sekolah, aku dikenal sebagai gadis paling stylish—selalu tampil beda, dengan pakaian yang berwarna cerah, rambut yang selalu tertata rapi, dan aksesoris yang seakan tak pernah ketinggalan. Kadang, aku berpikir, apakah penampilan itu adalah segalanya. Aku memiliki banyak teman, selalu ada di tengah keramaian, dan sering kali menjadi pusat perhatian.
Namun, ada satu hal yang tak pernah aku ceritakan kepada siapapun. Meskipun aku dikelilingi banyak teman, ada rasa sepi yang sulit aku jelaskan. Seperti ada ruang kosong dalam hatiku yang tidak bisa diisi hanya dengan tawa atau obrolan ringan. Entah kenapa, meskipun aku dikelilingi orang-orang yang menyenankan, aku merasa ada sesuatu yang hilang.
Semua itu berubah ketika aku bertemu dengan Dara.
Hari itu, cuaca di sekolah sangat cerah. Namun, aku merasa seakan ada sesuatu yang berat di hatiku. Aku baru saja menerima kabar buruk bahwa orangtuaku berencana pindah ke kota lain. Aku tak bisa membayangkan harus meninggalkan semua yang sudah aku kenal—teman-teman, guru, dan segala kenangan yang terukir di tempat ini.
Tiba-tiba, suara riuh di sekitar kelas mengalihkan pikiranku. Aku menoleh ke arah pintu dan melihat seorang gadis yang baru saja masuk. Dari cara dia berjalan, aku bisa menilai bahwa dia bukan tipe orang yang biasa masuk dalam kelompok populer seperti aku. Rambutnya yang panjang tergerai alami tanpa tambahan poni atau aksesoris. Pakaian yang ia kenakan terlihat sederhana, tapi ada kesan tenang dan anggun yang muncul dari tubuhnya.
Itu adalah Dara—gadis baru yang sepertinya menjadi bahan perbincangan banyak orang. Aku tak tahu mengapa, tapi pandanganku langsung tertuju padanya. Bukan karena penampilannya yang mencolok atau berbeda, melainkan karena ada aura kesedihan yang begitu kentara dari wajahnya. Wajah yang tampaknya berusaha tersenyum, namun matanya tampak kosong.
Saat Dara duduk di tempat kosong di sebelahku, aku merasa hati ini sedikit tergerak. Entah kenapa, aku merasa seakan aku harus menyapanya, meskipun aku tidak pernah terlalu suka bergaul dengan orang baru. Rasanya seperti ada ikatan tak kasat mata yang menarikku untuk mengenalnya lebih dekat.
Aku tersenyum ramah padanya. “Hei, kamu Dara kan? Baru pindah ke sini?”
Dara mengangguk pelan, matanya menghindar. “Iya, baru seminggu ini.”
Aku memandangi wajahnya lebih dekat. “Gimana suka sekolahnya? Ada yang bisa aku bantu?”
Dara hanya mengangguk, namun tak mengucapkan sepatah kata pun setelah itu. Ada rasa aneh dalam diri diriku, seperti merasa tersentuh oleh kesedihannya, tapi tak tahu harus bagaimana mengungkapkannya.
Selama beberapa hari, aku mencoba berbicara dengannya, tapi Dara selalu menjawab dengan jawaban singkat dan tidak bersemangat. Dia lebih suka duduk sendiri di sudut ruang kelas, atau bahkan di luar sekolah, bersembunyi di balik pepohonan besar yang ada di halaman. Aku bisa merasakan, ada beban yang lebih berat di hatinya, sebuah luka yang belum bisa dia sembuhkan.
Namun, saat kami mulai mengobrol lagi, aku perlahan mulai tahu lebih banyak tentang dirinya. Dara ternyata adalah gadis yang sangat cerdas, pintar, dan sensitif. Sayangnya, dia mengalami perpisahan yang sangat berat. Keluarganya baru saja pindah ke kota ini setelah kehilangan orang yang sangat mereka cintai. Itu menjelaskan mengapa dia terlihat begitu tertutup dan penuh beban.
Sebenarnya, aku bisa merasakan hal yang sama. Aku juga merasa kehilangan sesuatu, meskipun berbeda jenisnya. Aku akan segera meninggalkan teman-temanku, meninggalkan sekolah ini, dan semuanya terasa sangat mendalam bagiku. Namun, aku merasa bahwa perasaan itu bukanlah hal yang bisa aku tunjukkan pada siapapun. Aku harus tetap kuat di depan teman-temanku. Aku tidak ingin mereka tahu betapa beratnya kabar kepindahan ini.
Suatu hari, setelah beberapa minggu kami mengenal satu sama lain, Dara akhirnya membuka dirinya. Di sebuah sudut taman yang sepi, di bawah pohon besar, dia bercerita padaku dengan suara gemetar, “Tania, aku merasa… semua orang berpura-pura, termasuk aku. Seolah-olah kita harus selalu terlihat bahagia, seakan semuanya baik-baik saja. Padahal tidak. Aku merasa kehilangan, aku merasa seperti bukan diriku lagi.”
Matanya mulai berkaca-kaca, dan aku bisa merasakan hatinya yang begitu terluka. Aku menggenggam tangannya, memberikan dukungan tanpa banyak kata. Aku tahu, dia butuh seseorang yang mengerti. Dan aku juga merasakan hal yang sama. Ada kesamaan dalam rasa itu—rasa kehilangan yang mungkin tak akan pernah hilang.
Pada saat itu, aku menyadari bahwa dalam hidup, tidak selalu harus bahagia. Terkadang, kita hanya butuh seseorang yang mau mendengarkan dan mengerti. Tidak harus selalu tampil sempurna, karena persahabatan sejati datang saat kita bisa menjadi diri kita yang paling rawan, yang paling rentan. Dan aku merasa, mungkin Dara adalah teman yang bisa aku percayai. Teman yang akan mengisi ruang kosong di hatiku.
Sejak saat itu, kami menjadi lebih dekat. Kami berbicara tentang banyak hal—tentang kehilangan, tentang impian, dan tentang bagaimana rasanya menjadi gadis yang selalu terlihat bahagia, padahal sebenarnya tidak. Dara adalah seseorang yang mengajarkanku bahwa persahabatan sejati bukan hanya soal berbagi tawa, tetapi juga tentang berbagi luka, tentang menjadi kuat bersama-sama, dan tentang menerima setiap kelemahan yang ada.
Aku tidak tahu apa yang akan terjadi dengan sekolah ini, atau dengan pertemanan kami. Tapi satu hal yang aku yakin, aku telah menemukan seseorang yang benar-benar mengerti perasaan hatiku. Dan siapa tahu, pertemuan kami ini bisa menjadi awal dari sebuah persahabatan yang akan mengubah hidup kami berdua.
Cerpen Uli, Si Pecinta Party
Namaku Uli. Seseorang yang selalu merasa hidup ini penuh warna—terutama warna yang paling mencolok: pesta, musik, dan tawa teman-teman. Sejak dulu, aku sudah terbiasa menjadi pusat perhatian. Aku selalu ada dalam keramaian, selalu ada di tengah gelak tawa dan percakapan yang tak pernah ada habisnya. Bagi banyak orang, aku adalah gadis yang tak pernah bisa diam, yang hidupnya selalu penuh keseruan. Tapi, siapa yang tahu bahwa di balik semua itu, ada sisi lain yang jarang sekali orang lihat?
Saat itu, hari pertama masuk SMP. Aku baru saja pindah ke sekolah ini, sebuah tempat yang sepertinya tak terlalu berbeda dari sekolah-sekolah lain. Tapi entah kenapa, di hari pertama itu aku merasa sedikit canggung. Mungkin karena aku belum mengenal siapa pun, atau mungkin karena aku merasa semua orang sudah punya teman, dan aku harus memulai semuanya dari nol.
Aku mengenakan rok mini yang terkesan sedikit lebih modis daripada yang biasa dipakai oleh teman-teman sekelas. Kesan pertama memang penting, kan? Aku melangkah dengan percaya diri memasuki gerbang sekolah, meskipun sedikit gugup. Tapi begitu aku melihat suasana di dalam sekolah, aku merasa sedikit lega. Beberapa kelompok anak sudah duduk di bangku, bercengkrama, tertawa, dan sesekali memainkan ponsel mereka. Sepertinya, aku tidak terlalu berbeda.
Lalu, mataku tertuju pada seseorang yang berbeda. Dia duduk di bangku paling pojok, agak terpisah dari kelompok yang lain. Namanya Dara. Bukan tipe gadis yang selalu jadi pusat perhatian. Penampilannya sederhana: rambut panjang yang diikat ke belakang, kacamata besar yang menutupi sebagian wajahnya, dan pakaian yang tampak tidak terlalu peduli dengan tren terbaru. Dari jauh, dia tampak seperti gadis yang sangat pendiam, bahkan bisa dibilang, sedikit aneh dibandingkan dengan gadis-gadis lain di sekolah ini.
Tanpa sengaja, mataku bertemu dengan pandangannya. Sebuah tatapan yang langsung membuatku merasa canggung. Aku berusaha tersenyum, berharap bisa mencairkan suasana. Dara hanya menatapku, lalu mengalihkan pandangannya. Tidak ada senyuman, tidak ada sapaan, hanya keheningan yang terasa janggal.
Biasanya, aku yang akan mendekati dan mengajak berbicara duluan, tapi entah kenapa, ada sesuatu yang menghalangiku. Ada rasa penasaran yang tiba-tiba muncul, tapi aku juga tidak bisa menampik rasa canggung yang muncul begitu saja.
Hari-hari pertama sekolah berlalu tanpa banyak interaksi. Aku dengan dunia pergaulanku yang biasa—berbicara dengan teman-teman, berlari ke sana kemari, dan pastinya, selalu terlibat dalam berbagai acara sekolah. Sementara Dara, dia tetap dengan dunianya sendiri. Aku bahkan tidak pernah melihatnya keluar dari zona kenyamanannya. Sesekali, aku mendengar bisikan tentang Dara. Beberapa teman bilang dia itu anak yang pendiam, sering berada di perpustakaan, dan katanya, tidak suka mengikuti keramaian. Sejujurnya, aku tidak terlalu peduli dengan apa yang orang katakan, tapi entah kenapa, ada rasa ingin tahu tentang Dara yang semakin lama semakin besar.
Suatu hari, saat pulang sekolah, aku berjalan melewati perpustakaan, dan melihat Dara duduk di pojok, tenggelam dalam bukunya. Tanpa pikir panjang, aku menghampirinya.
“Hei, Dara, boleh aku duduk?” tanyaku, mencoba terdengar santai meski hatiku sedikit berdebar.
Dia menoleh pelan, sepertinya terkejut. “Oh, Uli… iya, silakan,” jawabnya dengan suara pelan. Aku duduk di sampingnya, mencoba merasa nyaman meskipun suasana terasa agak canggung.
“Aku lihat kamu sering di sini ya?” tanyaku mencoba membuka percakapan. Dara hanya mengangguk pelan, matanya kembali menatap buku yang ada di tangannya. “Emang apa yang kamu baca? Kayaknya seru banget, deh.”
Dara akhirnya meletakkan bukunya dan menatapku lebih lama. “Itu… buku tentang seni lukis. Aku suka melukis, sih, cuma… nggak banyak yang ngerti,” ujarnya, sedikit ragu.
Aku tersenyum. “Aku juga suka seni, meskipun nggak jago gambar. Tapi aku suka lihat orang melukis, kayak ada cerita yang tersembunyi di setiap goresan.”
“Benar,” Dara mengangguk, dan akhirnya, kami mulai mengobrol lebih lama tentang seni, tentang lukisan, dan tentang kehidupan. Aku tidak tahu kenapa, tapi seiring percakapan kami berlangsung, aku merasa nyaman. Tidak ada tekanan untuk menjadi siapa pun, tidak ada harapan untuk tampil sempurna.
Hari itu, kami berjalan pulang bersama. Sebuah kebiasaan yang tanpa kusadari, mulai menjadi rutinitas kami. Aku yang selalu ceria dan penuh tawa, dan Dara yang tenang dan lebih banyak mendengar. Kami seperti dua dunia yang bertemu secara tak sengaja, dan meskipun kami berbeda, ada sesuatu yang menarik dari pertemuan itu.
Seiring berjalannya waktu, aku mulai menyadari bahwa Dara bukanlah gadis yang tertutup atau aneh. Dia hanya berbeda—dalam cara berpikir, dalam cara melihat dunia, dan mungkin juga dalam cara merasakan hidup. Kami mulai saling mengisi kekosongan satu sama lain, tanpa ada paksaan. Aku mengajarinya untuk bersenang-senang, untuk keluar dari zona nyaman, sementara dia mengajarkanku untuk lebih tenang dan menikmati momen.
Malam itu, ketika aku pulang ke rumah, aku teringat pada kata-kata Dara yang masih terngiang di telingaku. “Aku suka melukis, tapi kadang aku takut kalau orang tidak akan mengerti.” Dan aku hanya tersenyum, karena aku tahu, ada satu hal yang pasti. Di dunia ini, selalu ada seseorang yang akan mengerti kita, meskipun tidak ada yang pernah benar-benar mengerti sepenuhnya.
Dan siapa sangka, persahabatan yang dimulai dari percakapan kecil di perpustakaan itu akan menjadi cerita yang mengubah banyak hal dalam hidupku.