Viona menghirup udara pagi yang segar di Kota Pelangi, tempat di mana ia tumbuh bersama canda dan tawa bersama teman-temannya. Hari itu, cerah dan hangat, seakan alam sendiri merayakan kebahagiaannya. Gadis berusia 18 tahun itu tersenyum lebar, langkahnya ringan seperti biasa ketika ia melintasi jalan-jalan yang dikenalnya begitu baik.
Sebagai seorang anak yang dibesarkan dalam lingkungan yang penuh cinta dan keceriaan, Viona selalu menemukan kebahagiaan dalam hal-hal kecil. Baginya, teman-teman adalah harta yang tak ternilai. Mereka adalah sahabat sejati yang selalu ada dalam setiap petualangan dan kisah hidupnya.
Suatu pagi, ketika Viona sedang duduk di bangku taman favoritnya, ia melihat seorang gadis berjalan dengan langkah malu-malu di seberang jalan. Gadis itu memakai jilbab putih yang dipadukan dengan dress berwarna pastel, menonjolkan kecantikannya yang sederhana namun anggun. Matanya yang cokelat hangat dan senyum kecil yang tersirat di bibirnya menarik perhatian Viona secara tiba-tiba.
“Apa dia orang baru di sini?” gumam Viona dalam hati, mencoba mengingat wajah-wajah yang pernah dilihatnya di sekitar Kota Pelangi. Tapi tidak, wajah gadis itu terasa asing baginya.
Entah dari mana, perasaan ingin tahu Viona membawa kakinya mendekati gadis itu. “Hai, maaf mengganggu,” sapanya dengan ramah begitu berada di dekatnya.
Gadis itu menoleh ke arahnya dengan senyum malu-malu. “H-hai,” balasnya singkat, lalu kembali menundukkan pandangannya.
“Namaku Viona,” ucapnya sambil mengulurkan tangan. “Senang bertemu denganmu.”
Gadis itu memandang Viona dengan tatapan penuh pertanyaan sebelum akhirnya menjawab, “Aku Zahra. Juga senang bertemu denganmu, Viona.”
Percakapan singkat itu membuka pintu bagi Viona untuk lebih mengenal Zahra. Mereka berdua mulai berbagi cerita tentang kehidupan masing-masing. Viona belajar bahwa Zahra baru saja pindah ke Kota Pelangi untuk tinggal bersama bibinya setelah kehilangan orangtuanya dalam sebuah kecelakaan tragis.
Dalam beberapa minggu, Viona dan Zahra menjadi teman akrab. Mereka menghabiskan waktu bersama di taman, berbicara tentang mimpi dan harapan mereka. Viona merasa seperti menemukan sahabat sejati dalam sosok Zahra, seseorang yang begitu tabah meski telah melalui banyak penderitaan.
Pertemanan mereka tumbuh menjadi lebih dari sekadar saling mengenal. Viona merasa hatinya hangat setiap kali bersama Zahra, sementara Zahra menemukan kepercayaan diri yang lama hilang ketika bersama Viona. Ada kekuatan magis dalam ikatan mereka, sebuah ikatan yang tumbuh dari rasa saling mengisi dan menguatkan.
Di balik keceriaan dan tawa yang selalu menghiasi hari-hari mereka, Viona merasakan ada ketenangan yang ia temukan dalam kehadiran Zahra. Gadis itu tidak hanya sekadar teman, tetapi juga kakak perempuan yang selalu memberikan nasihat dan dukungan.
Dalam bab pertama ini, Viona dan Zahra menemukan satu sama lain dalam kehangatan pertemanan yang baru. Mereka menyadari bahwa kadang kehidupan membawa orang-orang yang paling penting pada saat yang tak terduga, memberi mereka cahaya dan harapan di tengah kesedihan yang menyelimuti.
Cerpen Wanda Sang Petualang
Wanda menatap ke luar jendela dengan mata berbinar-binar. Cahaya pagi yang masuk melalui kaca menyoroti wajahnya yang penuh semangat. Hari itu, dia merasa tak sabar untuk mengawali petualangannya yang baru. Semangatnya tak terbendung, seolah dunia ini adalah arena mainnya yang tak terbatas.
Sebagai seorang anak yang hidup penuh kebahagiaan, Wanda selalu dikelilingi oleh teman-teman yang hangat dan ceria. Dia adalah sosok yang selalu menarik perhatian dengan keceriaannya. Meskipun demikian, ada satu hal yang selalu menggelitik di hatinya: keinginan untuk menjelajahi dunia di luar sana, melepas semua kepenatan dan mengejar impian yang menggelora dalam dirinya.
Pagi itu, Wanda memutuskan untuk melakukan sesuatu yang di luar kebiasaannya. Dia menarik napas dalam-dalam sambil memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak tentang dunia petualangan yang selama ini hanya dia baca di buku-buku. Maka, dengan langkah ringan, dia pun memasuki sebuah toko buku kecil di pinggir kota.
Begitu masuk, Wanda merasa seakan melangkah ke dalam dunia lain yang penuh dengan cerita-cerita mengagumkan. Dia berjalan-jalan di antara rak-rak yang penuh dengan buku-buku tentang petualangan, peta-peta yang menjelajahi tanah yang belum pernah dia kunjungi sebelumnya, dan cerita-cerita tentang sahabat-sahabat yang melakukan perjalanan bersama.
“Toko buku ini punya daya tarik tersendiri,” gumam Wanda dalam hati, sambil tersenyum lebar. Di sudut ruangan, ada seorang pria yang sedang mengatur tumpukan buku dengan serius. Wanda meliriknya sebentar, dan mata mereka pun bertemu sebentar.
Pria itu terlihat agak kaku, seperti seorang yang tidak terlalu akrab dengan kehidupan sosial di luar sana. Namun, ada kilatan di matanya yang menarik perhatian Wanda. Mungkin dia adalah seseorang yang pernah menjelajah lebih jauh dari apa yang terlihat dari luar, seperti karakter dalam buku-buku yang sering dia baca.
Saat itulah, tanpa disangka, buku yang sedang dipegangnya terjatuh ke lantai. Wanda segera membantu mengambilkannya dan tersenyum ramah pada pria itu. “Hai, apa kabar? Nama saya Wanda,” sapa Wanda dengan hangat.
Pria itu terkejut sejenak, lalu membalas sapaan dengan anggukan kepala. “Halo, saya Haikal,” ucapnya pelan, dengan senyum tipis yang menghiasi wajahnya.
Mereka mulai berbincang-bincang tentang buku-buku favorit mereka, tentang tempat-tempat yang ingin mereka kunjungi, dan tentang impian-impian yang mereka genggam erat di dalam hati. Wanda merasa ada kehangatan yang aneh namun menyenangkan dalam percakapan mereka, seolah-olah dia sudah mengenal Haikal sejak lama.
Setelah beberapa saat, mereka berpisah dengan senyum lebar di wajah masing-masing. Wanda merasa hatinya berdebar-debar dengan sensasi baru yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya. Ada sesuatu yang berbeda dalam pertemuan mereka, seperti awal dari petualangan yang baru dan tak terduga.
Di dalam hati, Wanda berharap bahwa pertemuan mereka hari itu bukanlah yang terakhir kali. Dia ingin lebih banyak mengenal Haikal, dan mungkin, bersama-sama menjelajahi dunia di luar sana—membuat cerita petualangan mereka sendiri yang tak kalah menarik dengan cerita-cerita yang ada di buku-buku yang mereka sukai.
Cerpen Eva di Atas Bukit
Eva tersenyum lebar sembari menghirup udara segar di atas bukit kecil yang menjadi tempat favoritnya. Di hadapannya, langit biru membentang luas, dihiasi awan putih yang lembut berarak perlahan. Suara gemericik air terjun kecil di kejauhan menambah kedamaian tempat ini. Eva adalah gadis berusia dua puluh satu tahun yang hidupnya penuh dengan keceriaan dan kehangatan persahabatan.
Sejak kecil, Eva sudah terbiasa dengan kegembiraan dan canda tawa bersama teman-temannya. Mereka adalah sahabat sejak taman kanak-kanak, melewati masa sekolah menengah, hingga kini di bangku perguruan tinggi. Namun, di balik senyumnya yang selalu cerah, terkadang tersembunyi rasa kesepian yang sulit diutarakan.
Hari itu, di bukit tempat Eva sering menghabiskan waktu sendirian untuk merenung, tak disangka ada yang berbeda. Seorang pria yang tidak dikenalnya, dengan pakaian sederhana dan senyum ramah, duduk di bawah pohon di tepi bukit. Eva merasa sedikit terganggu karena biasanya tempat ini selalu sepi dari pengunjung.
Namun, rasa ingin tahu dan kebaikan hatinya mendorong Eva untuk menghampiri pria itu. Ketika mendekat, dia melihat pria itu sedang menatap jauh ke horizon, seakan tenggelam dalam pikiran sendiri. “Hai, apa kabar?” sapa Eva ramah.
Pria itu tersentak sedikit kaget, kemudian membalas sapaan Eva dengan senyum hangat, “Hai, kabarku baik. Terima kasih sudah menyapa.”
“Maaf, aku Eva. Aku jarang melihat orang di sini. Biasanya tempat ini sepi,” ucap Eva sambil menatap pemandangan yang masih indah di sore hari itu.
“Panggil aku Faris,” jawab pria itu sambil mengulurkan tangan untuk berjabat tangan dengan Eva. “Benar, tempat ini sangat tenang. Aku suka datang ke sini untuk merenung.”
Mereka pun duduk berdampingan di bawah pohon itu, menikmati keheningan yang hanya diisi oleh suara angin sepoi-sepoi. Eva merasa ada kehangatan dan ketenangan yang dirasakannya bersama Faris, meskipun baru pertama kali bertemu.
“Lama tinggal di sini?” tanya Eva, mencoba memecah keheningan.
“Sejak kecil. Saya besar di desa tidak jauh dari sini,” jawab Faris dengan lembut.
Percakapan mereka berlanjut, menceritakan banyak hal tentang diri masing-masing. Eva merasa bahwa mereka memiliki banyak kesamaan dalam pandangan hidup dan mimpi yang ingin mereka capai. Waktu berlalu begitu cepat, hingga matahari perlahan tenggelam di ufuk barat.
“Eva, bolehkah kita bertemu lagi di sini besok?” tanya Faris dengan tatapan penuh harap.
Eva tersenyum, “Tentu saja, Faris. Aku akan senang bertemu lagi besok.”
Mereka pun berpisah di bawah cahaya senja, namun rasa hangat dan kebersamaan yang mereka rasakan masih menyelimuti hati Eva. Entah mengapa, pertemuan singkat di atas bukit itu telah menggugah emosi yang baru bagi Eva—sebuah perasaan yang sulit untuk dijelaskan, namun begitu kuat hadir dalam hatinya.